Ingin menurunkan angka kemiskinan di Indonesia secara permanen dan berkelanjutan? Ingin pemerintah tidak terlalu direpotkan oleh berbagai subsidi dan bantuan langsung? Ingin menyaksikan martabat bangsa ini tidak diinjak-injak di luar sana? Sekolah Miskin jawabannya.
Sekolah Miskin (SM), sebuah nama yang agak janggal. Tapi ia sama seperti Rumah Sakit, tempat dimana orang sakit disembuhkan. Sekolah Miskin adalah tempat dimana orang miskin disembuhkan pula (dari kemiskinan). Hanya SM satu-satunya sekolah di republik ini yang akan mampu secara pasti menurunkan angka kemiskinan di Indonesia. Kecepatan meluluskan para siswa akan berbanding lurus dengan penurunan angka kemiskinan. Jadi, semakin banyak SM menamatkan siswanya, berarti semakin banyak pula orang miskin yang keluar dari kemiskinannya. Mari kita berhitung dan menggunakan logika sederhana ini. Bayangkan saja, jika SM berdiri minimal satu di setiap kabupaten/kota di Indonesia, dan setiap tahun mampu meluluskan minimal seratus orang saja di setiap SM, maka di seluruh Indonesia akan muncul orang atau kelompok produktif baru sebanyak kurang lebih 25.000 orang. Jika setiap orang atau kelompok dapat mempekerjakan satu sampai empat orang miskin lainnya, maka setiap tahun akan ada 50.000 s/d 125.000 orang yang telah melepaskan diri dari kemiskinan. Jika setiap orang itu menghidupi rata-rata 4 orang di setiap rumah tangganya, maka akan ada 250.000 s/d 600.000 jiwa yang terlepas dari kemiskinan secara permanen pertahun.
Sesederhana itukah? Mengapa tidak, alumni ini punya keterampilan untuk memproduksi barang/jasa tertentu, punya alat produksi di rumahnya, punya modal kerja, punya bahan baku, punya pasar yang membeli produkasinya, sama seperti pengusaha yang lain meskipun berbeda skala. Nah, sepertinya sangat gampang ya, memangnya mereka punya modal seperti pengusaha-pengusaha itu? Nah…itu si pengusaha-pengusaha dapat modal dari mana? Dari pinjaman, bukan? La iya…alumni SM juga perlu dibantu untuk mendapatkan modal seperti itu. Memang sangat gampang asalkan saja pemerintah dan seluruh komponen masyarakat mau. Mau dalam pengertian sesungguhnya. Lulusan SM akan jauh lebih tangguh dibandingkan alumni sekolah manapun di negara kita. Begitu seseorang atau sekelompok orang miskin keluar dari sekolah ini, mereka akan berubah menjadi orang atau kelompok produktif yang tidak lagi mengemis, meminta-minta, menunggu belas kasihan lingkungannya, menunggu segala macam bentuk subsidi dan bantuan langsung. Mereka akan menjadi orang atau kelompok produktif yang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan tidak tertutup kemungkinan akan memiliki kemampuan untuk membantu orang lain.
Seperti apa sekolah ini? Kok bisa begitu berani menjamin akan mampu mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Padahal sudah puluhan tahun negara ini telah berusaha mengentaskan kemiskinan. Sudah berbilang presiden dan wakil presiden, sudah ratusan menteri dan gubernur, ribuan bupati dan camat, ribuan pejabat silih berganti. Belum lagi melibatkan para pakar dan expert, menghabiskan dana yang entah berapa jumlahnya, dengan berbagai cara dan metode, melibatkan aneka program dan system, dengan perangkat ketentuan dan undang-undang. Belum lagi pakar dan akademisi yang menelorkan berbagai teori, tambah lagi organisasi pemerintah dan non-pemerintah, baik dalam negeri maupun asing, relawan dan entah apa lagi. Hasilnya tetap sebuah gunung yang membentuk kelompok miskin itu. Padahal negara-negara lain bisa dan tidak sedramatik itu.
Bukankah pemerintah telah berbuat maksimal dan bersimbah keringat?. Bersimbah keringat ya, tapi belum maksimal. Lihat saja, selama ini departemen yang mengurus orang miskin selalu tidak populer, menterinya juga boleh siapa saja, tidak perlu pakar. Di daerah juga hamper sama, yang mengurus orang miskin itu adalah unit/satuan kerja yang sama miskinnya dengan yang akan diurus. Kepala dinasnya juga sekedar orang yang perlu diberi jabatan, jauh kalah mentereng dengan dinas lain. Para pegawai juga enggan ditempatkan di kantor ini. Jadilah dinas itu pilihan terakhir bagi pegawai negeri yang ada. Jika sudah begitu muaranya bisa ditebak kan? Orang miskin itu diurus sekenanya, lalu disiapkan macam-macam bantuan, digratiskan, diposisikan sebagai orang lemah, dan dianggap sebagai objek. Padahal mereka adalah sama persis seperti yang lain, tetapi dengan sebuah keterbatasan, yaitu tidak punya : keterampilan, peralatan, modal, pemasaran, manajemen dan ini yang paling utama, “pengakuan”.
Pengakuan adalah hal yang sangat penting. Mereka harus ditempatkan pada posisi teratas dari strata kehidupan di negara ini. Mereka harus dihargai dan diperlakukan sebagaimana selama ini orang menghormati kelas sosial ekonomi atas. Sepertinya konsep ini gila benar, apakah perlu mereka dihormati, untuk apa? Bukankah mereka itu sampah yang jauh dari segala kehormatan. Sudahlah, jangan memperdebatkan lagi masalah ini. Kita ini memang masyarakat yang paling tinggi rating perdebatannya. Jadi, jangan diperdebatkan dulu ya. Nanti kita akan tahu semua mengapa paradigma ini perlu dibalik. Pokoknya, mereka harus diakui sebagai orang yang paling menentukan dalam kemajuan bangsa ini, bukan sebagai orang yang membebani dan menyulitkan negara dan pemerintah. Selama ini mereka tidak dianggap, tidak diurus, tidak ditempatkan pada tempat selayaknya. Lalu mereka pergi mencari tempat yang layak, bahkan sampai ke luar negeri. Di sana mereka menjadi wakil (duta) tetap negara kita yang menjadi representasi dan projeksi, serta mewakili martabat bangsa Indonesia. Jika kemudian di sana mereka miskin, kumal, jorok, kriminal, tidak disiplin, maka masyarakat di sana kontan akan memberi cap negatif untuk Jakarta (Indonesia). Jika mereka kemudian brutal dan membunuh, maka warga negara sana akan melihat betapa sadis dan brutalnya bangsa Indonesia itu. Ini adalah sebuah realita. Jika kita berkunjung ke negara mana saja yang banyak tenaga kerja Indonesia, ketika berhadapan dengan aparat negara tersebut, maka kita akan disamakan dengan para pencari kerja itu. Meskipun kita sudah berusaha tampil bergaya eksekutif dan bergaya legislatif, menyodorkan barbagai kartu identitas, namun tak menghapus stempel bangsa miskin, tidak disiplin dan citra negatif itu. Karena kita punya banyak duta di sana.
Sekolah Miskin tentu saja memerlukan prasarana dan sarana, seperti ruang belajar, bengkel dan laboratorium, peralatan, bahan dan material, kurikulum, pengajar dan tentunya manajemen yang professional. Didalam operasionalnya, sekolah ini mesti diurus oleh orang-orang yang peduli kemiskinan. Kita jangan lagi berharap dari aparatur pemerintah yang selama ini selalu menjadikan orang miskin sebagai objek. Lihat saja, mulai dari aparat selevel RT/RW hingga ke level paling tinggi, selalu mengobjekkan orang miskin. Belum pernah kita mendengar atau menyaksikan operasional program bantuan untuk orang mskin itu berjalan pada track yang benar. Namun peran pemerintah sangat diharapkan sebagai fasilitator, regulator, mediator dan eksekutor. Kalau soal murid tidak perlu khawatir, semua orang miskin dan penggangguran yang masih dalam usia produktif adalah muridnya.
Sekolah Miskin memerlukan peralatan produksi untuk belajar memproduksi berbagai produk. Ada ratusan bahkan ribuan jenis barang dan jasa yang bisa diproduksi. Peralatan ini mutlak dan wajib, karena selain harus mengenal peralatan, para siswa SM harus mahir mengoperasikan peralatan. Kelak setelah lulus, mereka harus diberikan peralatan tersebut, diberi bantuan modal. Kesemua itu akan dicicil dengan hasil produksinya. Ini kewajiban pemerintah, lembaga keuangan dan para orang kaya. Modalnya tidak akan terlalu banyak, tidak akan melebih BLBI. Lagi pula dijamin tidak akan macet, mereka tidak pintar kabur, dan pemerintah akan mengontrol langsung pengelolaan keuangannya. Ada lagi satuan yang akan mengatur manajemennya. Tugas mereka hanya berproduksi sesuai dengan kualitas dan kuantitas yang diarahkan. Pemerintah membuat regulasi agar produksi itu dibeli masyarakat dan dijual di semua pasar tradisional, supermarket dan diekspor.
Ketika mesin-mesin produksi skala rumah tangga itu bergerak, ketika itu pula mereka yang dulu miskin akan mampu menjadi produktif. Ada penghasilan dan ada daya beli. Kita bisa bayangkan, betapa industri rumah tangga ini menggeliat sepanjang waktu. Orang-orang akan sangat sibuk di industri rumahan masing-masing. Inilah tujuan kita sebenarnya. Tapi, sekali lagi, yang penting ada kemauan dari para pengambil keputusan itu. Seluruh pemerintah daerah jangan lagi berlomba-lomba mempercantik wajah daerahnya. Untuk apa wajah kota yang indah, tetapi diisi oleh orang-orang miskin, jorok, kumal, kurang gizi dan kelaparan. Tapi kalau di daerahnya sudah banyak lulusan SM, silahkan mau membangun apa saja, mau memakai dasi setiap hari oke, naik mobil mewah tidak ada masalah. Karena orang-orang miskin yang dulu selalu iseng mencibir bapak-bapak dari belakang, kini akan sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
(Masalah kemiskinan diurai lebih lengkap dala buku “Menghapus Jejak Kemiskinan, An Unconventional Approach, Kampar Way” karya: Alfian Malik, ISBN 978-979-792-128-6)
Sekolah Miskin (SM), sebuah nama yang agak janggal. Tapi ia sama seperti Rumah Sakit, tempat dimana orang sakit disembuhkan. Sekolah Miskin adalah tempat dimana orang miskin disembuhkan pula (dari kemiskinan). Hanya SM satu-satunya sekolah di republik ini yang akan mampu secara pasti menurunkan angka kemiskinan di Indonesia. Kecepatan meluluskan para siswa akan berbanding lurus dengan penurunan angka kemiskinan. Jadi, semakin banyak SM menamatkan siswanya, berarti semakin banyak pula orang miskin yang keluar dari kemiskinannya. Mari kita berhitung dan menggunakan logika sederhana ini. Bayangkan saja, jika SM berdiri minimal satu di setiap kabupaten/kota di Indonesia, dan setiap tahun mampu meluluskan minimal seratus orang saja di setiap SM, maka di seluruh Indonesia akan muncul orang atau kelompok produktif baru sebanyak kurang lebih 25.000 orang. Jika setiap orang atau kelompok dapat mempekerjakan satu sampai empat orang miskin lainnya, maka setiap tahun akan ada 50.000 s/d 125.000 orang yang telah melepaskan diri dari kemiskinan. Jika setiap orang itu menghidupi rata-rata 4 orang di setiap rumah tangganya, maka akan ada 250.000 s/d 600.000 jiwa yang terlepas dari kemiskinan secara permanen pertahun.
Sesederhana itukah? Mengapa tidak, alumni ini punya keterampilan untuk memproduksi barang/jasa tertentu, punya alat produksi di rumahnya, punya modal kerja, punya bahan baku, punya pasar yang membeli produkasinya, sama seperti pengusaha yang lain meskipun berbeda skala. Nah, sepertinya sangat gampang ya, memangnya mereka punya modal seperti pengusaha-pengusaha itu? Nah…itu si pengusaha-pengusaha dapat modal dari mana? Dari pinjaman, bukan? La iya…alumni SM juga perlu dibantu untuk mendapatkan modal seperti itu. Memang sangat gampang asalkan saja pemerintah dan seluruh komponen masyarakat mau. Mau dalam pengertian sesungguhnya. Lulusan SM akan jauh lebih tangguh dibandingkan alumni sekolah manapun di negara kita. Begitu seseorang atau sekelompok orang miskin keluar dari sekolah ini, mereka akan berubah menjadi orang atau kelompok produktif yang tidak lagi mengemis, meminta-minta, menunggu belas kasihan lingkungannya, menunggu segala macam bentuk subsidi dan bantuan langsung. Mereka akan menjadi orang atau kelompok produktif yang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan tidak tertutup kemungkinan akan memiliki kemampuan untuk membantu orang lain.
Seperti apa sekolah ini? Kok bisa begitu berani menjamin akan mampu mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Padahal sudah puluhan tahun negara ini telah berusaha mengentaskan kemiskinan. Sudah berbilang presiden dan wakil presiden, sudah ratusan menteri dan gubernur, ribuan bupati dan camat, ribuan pejabat silih berganti. Belum lagi melibatkan para pakar dan expert, menghabiskan dana yang entah berapa jumlahnya, dengan berbagai cara dan metode, melibatkan aneka program dan system, dengan perangkat ketentuan dan undang-undang. Belum lagi pakar dan akademisi yang menelorkan berbagai teori, tambah lagi organisasi pemerintah dan non-pemerintah, baik dalam negeri maupun asing, relawan dan entah apa lagi. Hasilnya tetap sebuah gunung yang membentuk kelompok miskin itu. Padahal negara-negara lain bisa dan tidak sedramatik itu.
Bukankah pemerintah telah berbuat maksimal dan bersimbah keringat?. Bersimbah keringat ya, tapi belum maksimal. Lihat saja, selama ini departemen yang mengurus orang miskin selalu tidak populer, menterinya juga boleh siapa saja, tidak perlu pakar. Di daerah juga hamper sama, yang mengurus orang miskin itu adalah unit/satuan kerja yang sama miskinnya dengan yang akan diurus. Kepala dinasnya juga sekedar orang yang perlu diberi jabatan, jauh kalah mentereng dengan dinas lain. Para pegawai juga enggan ditempatkan di kantor ini. Jadilah dinas itu pilihan terakhir bagi pegawai negeri yang ada. Jika sudah begitu muaranya bisa ditebak kan? Orang miskin itu diurus sekenanya, lalu disiapkan macam-macam bantuan, digratiskan, diposisikan sebagai orang lemah, dan dianggap sebagai objek. Padahal mereka adalah sama persis seperti yang lain, tetapi dengan sebuah keterbatasan, yaitu tidak punya : keterampilan, peralatan, modal, pemasaran, manajemen dan ini yang paling utama, “pengakuan”.
Pengakuan adalah hal yang sangat penting. Mereka harus ditempatkan pada posisi teratas dari strata kehidupan di negara ini. Mereka harus dihargai dan diperlakukan sebagaimana selama ini orang menghormati kelas sosial ekonomi atas. Sepertinya konsep ini gila benar, apakah perlu mereka dihormati, untuk apa? Bukankah mereka itu sampah yang jauh dari segala kehormatan. Sudahlah, jangan memperdebatkan lagi masalah ini. Kita ini memang masyarakat yang paling tinggi rating perdebatannya. Jadi, jangan diperdebatkan dulu ya. Nanti kita akan tahu semua mengapa paradigma ini perlu dibalik. Pokoknya, mereka harus diakui sebagai orang yang paling menentukan dalam kemajuan bangsa ini, bukan sebagai orang yang membebani dan menyulitkan negara dan pemerintah. Selama ini mereka tidak dianggap, tidak diurus, tidak ditempatkan pada tempat selayaknya. Lalu mereka pergi mencari tempat yang layak, bahkan sampai ke luar negeri. Di sana mereka menjadi wakil (duta) tetap negara kita yang menjadi representasi dan projeksi, serta mewakili martabat bangsa Indonesia. Jika kemudian di sana mereka miskin, kumal, jorok, kriminal, tidak disiplin, maka masyarakat di sana kontan akan memberi cap negatif untuk Jakarta (Indonesia). Jika mereka kemudian brutal dan membunuh, maka warga negara sana akan melihat betapa sadis dan brutalnya bangsa Indonesia itu. Ini adalah sebuah realita. Jika kita berkunjung ke negara mana saja yang banyak tenaga kerja Indonesia, ketika berhadapan dengan aparat negara tersebut, maka kita akan disamakan dengan para pencari kerja itu. Meskipun kita sudah berusaha tampil bergaya eksekutif dan bergaya legislatif, menyodorkan barbagai kartu identitas, namun tak menghapus stempel bangsa miskin, tidak disiplin dan citra negatif itu. Karena kita punya banyak duta di sana.
Sekolah Miskin tentu saja memerlukan prasarana dan sarana, seperti ruang belajar, bengkel dan laboratorium, peralatan, bahan dan material, kurikulum, pengajar dan tentunya manajemen yang professional. Didalam operasionalnya, sekolah ini mesti diurus oleh orang-orang yang peduli kemiskinan. Kita jangan lagi berharap dari aparatur pemerintah yang selama ini selalu menjadikan orang miskin sebagai objek. Lihat saja, mulai dari aparat selevel RT/RW hingga ke level paling tinggi, selalu mengobjekkan orang miskin. Belum pernah kita mendengar atau menyaksikan operasional program bantuan untuk orang mskin itu berjalan pada track yang benar. Namun peran pemerintah sangat diharapkan sebagai fasilitator, regulator, mediator dan eksekutor. Kalau soal murid tidak perlu khawatir, semua orang miskin dan penggangguran yang masih dalam usia produktif adalah muridnya.
Sekolah Miskin memerlukan peralatan produksi untuk belajar memproduksi berbagai produk. Ada ratusan bahkan ribuan jenis barang dan jasa yang bisa diproduksi. Peralatan ini mutlak dan wajib, karena selain harus mengenal peralatan, para siswa SM harus mahir mengoperasikan peralatan. Kelak setelah lulus, mereka harus diberikan peralatan tersebut, diberi bantuan modal. Kesemua itu akan dicicil dengan hasil produksinya. Ini kewajiban pemerintah, lembaga keuangan dan para orang kaya. Modalnya tidak akan terlalu banyak, tidak akan melebih BLBI. Lagi pula dijamin tidak akan macet, mereka tidak pintar kabur, dan pemerintah akan mengontrol langsung pengelolaan keuangannya. Ada lagi satuan yang akan mengatur manajemennya. Tugas mereka hanya berproduksi sesuai dengan kualitas dan kuantitas yang diarahkan. Pemerintah membuat regulasi agar produksi itu dibeli masyarakat dan dijual di semua pasar tradisional, supermarket dan diekspor.
Ketika mesin-mesin produksi skala rumah tangga itu bergerak, ketika itu pula mereka yang dulu miskin akan mampu menjadi produktif. Ada penghasilan dan ada daya beli. Kita bisa bayangkan, betapa industri rumah tangga ini menggeliat sepanjang waktu. Orang-orang akan sangat sibuk di industri rumahan masing-masing. Inilah tujuan kita sebenarnya. Tapi, sekali lagi, yang penting ada kemauan dari para pengambil keputusan itu. Seluruh pemerintah daerah jangan lagi berlomba-lomba mempercantik wajah daerahnya. Untuk apa wajah kota yang indah, tetapi diisi oleh orang-orang miskin, jorok, kumal, kurang gizi dan kelaparan. Tapi kalau di daerahnya sudah banyak lulusan SM, silahkan mau membangun apa saja, mau memakai dasi setiap hari oke, naik mobil mewah tidak ada masalah. Karena orang-orang miskin yang dulu selalu iseng mencibir bapak-bapak dari belakang, kini akan sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
(Masalah kemiskinan diurai lebih lengkap dala buku “Menghapus Jejak Kemiskinan, An Unconventional Approach, Kampar Way” karya: Alfian Malik, ISBN 978-979-792-128-6)
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentar Anda!