Harian Kompas, terbitan Jumat 28 Maret 2008, dalam rubrik Kilas Politik & Hukum, berjudul “Sayembara Atasi Kemiskinan”, menulis sebagai berikut; Ketua Umum Partai Hanura Wiranto mengadakan sayembara nasional berupa lomba karya tulis bertema “Wiranto Mendengar Aspirasi Rakyat, Saatnya Rakyat Bicara Soal Kemiskinan”. “Saya berharap pemerintah tidak terlalu sensitif, apalagi apriori pada berbagai inisiatif masyarakat yang ingin berpartisipasi mengatasi kemiskinan. Sebab, penanggulangan kemiskinan menjadi tanggung jawab kita bersama”, kata Wiranto, Kamis (27/3) di Jakarta. (NOW)
Terlepas dari segala kepentingan yang ada di balik sayembara itu, kita semua perlu menduga bahwa Wiranto yang dulu pernah menjadi patriot di medan tempur, kini sedang menunjukkan patriotisme baru di medan yang jauh lebih berat, memerangi kemiskinan. Bukan sekali ini saja ketua Partai Hanura ini menunjukkan kepeduliannya terhadap kemiskinan, yang meskipun masih sebatas konsep, tetapi setidaknya kepedulian terhadap kemiskinan mesti dimulai dengan konsep yang benar. Beberapa waktu yang lalu, ketika berbicara tentang angka-angka kemiskinan di salah satu stasion televisi, kontan membuat pemerintah seperti kesetrum. Lalu terjadi perdebatan sengit di lembaga legislatif dan eksekutif tentang angka kemiskinan di Indonesia. Lalu tayangan itu menghilang, padahal sangat diperlukan untuk menggugah semangat patriotisme masyarakat yang mampu untuk ikut menjadi patriot.
Mungkin para eksekutor dan legislator itu lupa bahwa pengentasan kemiskinan tidak dimulai dengan memperdebatkan angka-angka. Karena besar atau kecil, masalah kemiskinan di Indonesia adalah realita yang sangat menyakitkan. Seandainya saja, pemerintah mencanangkan program nasional “Hidup Bersama Orang Miskin”, dimana kepada setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, anggota legislatif dan semua orang kaya diwajibkan untuk tinggal dan hidup bersama di rumah orang miskin selama satu hari saja, satu hari saja, niscaya tidak akan ada lagi perdebatan tentang angka, apalagi berteori tentang jenis-jenis kemiskinan. Ternayata orang miskin tidak memerlukan ahli berdebat, tetapi patriot yang siap bertempur dan merubah kondisi mereka.
Kembali kepada masalah sayembara di atas, masyarakat memang perlu diajak untuk ikut serta menyelesaikan persoalannya sendiri. Apalagi, Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki demografi, dengan potensi dan persoalan yang berbeda. Daerah harus menentukan sendiri cara menyejahterakan masyarakatnya, tanpa harus menunggu aba-aba dari pusat. Ia bukanlah seperti bermain orkestra, yang harmonisasinya sangat tergantung gerak tangan dan lenggok tubuh seorang konduktor. Ketika di Jakarta orang berteriak tentang membaiknya indikator-indikator ekonomi makro nasional, justeru banyak daerah sedang bermimpi buruk tentang bahaya kemiskinan yang kian poten.
Ada dua alasan fundamental yang menyebabkan mengapa pemerintah wajib menempatkan persoalan pengentasan kemiskinan ke dalam kebijakan dengan kategori high priority. Alasan pertama, dari perspektif keagamaan, Allah SWT memerintahkan kepada manusia, untuk peduli kepada orang miskin. Pada beberapa surat di dalam al Qur’an, Allah SWT lugas mengatakan ”...tha’aamil miskiin”, memberi makan orang miskin, sebuah kiasan yang sangat sarat dengan perintah. Alasan kedua, dari perspektif kenegaraan, konstitusi menjamin hak-hak sosial setiap warga negara bahwa ; ”tiap-tiap warga negara berhak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Di sini terkandung makna yang paling hakiki, bahwa kata-kata ”berhak akan pekerjaan”, merupakan sebuah perintah dan komando (imperative) untuk melawan dan menghentikan laju angka pengangguran. Sedangkan kata-kata ”penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” adalah cita-cita yang wajib dicapai untuk memberantas kebodohan, memerangi kemiskinan, dan menyelesaikan bentuk destruktif sosial lainnya akibat kebodohan dan kemiskinan itu.
Kelalaian dan kealpaan pemerintah di dalam mengapresiasi perintah agama dan amanat konstitusi sebagaimana disebutkan di atas, kini telah menuai cobaan dari Tuhan. Para pemimpin agaknya tidak percaya, bagaimana mungkin sebuah negeri yang sangat kaya dan memiliki sumber daya alam melimpah, rakyatnya bisa miskin. Tetapi apa yang terjadi kemudian, masalah kemiskinan di Indonesia menggelinding seperti bola salju, berubah menjadi masalah besar, bahkan sudah menjadi terlalu besar. Jika merujuk kepada kriteria Bank Dunia (World Bank), hampir separoh penduduk Indonesia adalah orang msikin. Kita sangat yakin, jika dibiarkan sendiri, pemerintah tidak akan pernah dapat mengentaskan, apalagi menghapusnya dari negeri ini. Pengentasan kemiskinan memerlukan dukungan dari semua pihak, terutama dukungan politik yang dapat meluruskan arah kebijakan pemerintah, tepat menuju episentrum pengentasan kemiskinan, serta menggiring peran serta dunia usaha dalam mengeliminir polarisasi sosial.
Kemiskinan adalah kondisi sosial, merupakan produk hulu yang dihasilkan dari perbuatan salah urus (mismanagement) lingkungan internal dan eksternal manusia. Dikatakan sebagai produk hulu, karena setelah kemiskinan, akan muncul masalah-masalah destruksi sosial lainnya, yang merupakan turunan dari persoalan kemiskinan. Oleh sebab itu, kemiskinan bukanlah kondisi ketidak beruntungan yang diwariskan, sebagaimana pemahaman banyak pihak. Tetapi kemiskinan diciptakan dari kesalahan dalam mengelola kedua lingkungan itu. Kebodohan dan apatisme, adalah faktor internal yang memberi sumbangsih dasar terhadap penciptaan kemiskinan. Sementara kemauan politik, arah kebijakan pemerintah, dan polarisasi sosial masyarakat, adalah faktor eksternal, yang berperan langsung dalam mempercepat proses penciptaan kemiskinan.
Karena kemiskinan dapat diciptakan, maka analoginya, kemiskinan juga bisa dientaskan. Mengentaskan kemiskinan bukan berarti merubah status orang miskin menjadi kaya. Apa jadinya jika seisi dunia ini semua orang kaya. Tentu tidak terpikirkan siapa yang akan menjadi pekerja, ketika semua orang menjadi bos. Mengentaskan kemiskinan bukan pula sekedar merubah status, tetapi hakikatnya adalah memberikan kemampuan kepada setiap orang untuk memperoleh kebutuhan dasar hidup, ketika kebutuhan itu diperlukan.
Ada tiga agenda maha dahsyat yang dapat menghapus jejak kemiskinan, yaitu; 1) Mencerdaskan kehidupan masyarakat, 2) Mereformasi penyelenggaraan pemerintahan, mereorientasi arah kebijakan pemerintah, dan 3) Meminta komitmen total dan sumbangsih nyata keikutsertaan dunia usaha dalam mengeleminir polarisasi sosial. Ketiga agenda ini, jika didukung oleh kekuatan politik, dan dibarengi dengan penegakan hukum yang seadil-adilnya, maka secara teoritis akan menjadi sebuah aksioma, dan secara praktik akan menjadi motor-driven yang menggerakkan mesin-mesin penghapus jejak kemiskinan itu.
Mencerdaskan kehidupan masyarakat adalah upaya empowerment masyarakat, agar memiliki kecerdasan sosial, kultural, politik, eknomi, biologi, jasmani, rokhani, spiritual, emosional, dan kecerdasan intelektual. Kesemua kecerdasan itu adalah modal sosial, yang harus dimiliki oleh manusia untuk melepaskan diri dari belenggu ketidak berdayaannya, kebodohan, ketakutan, ketidak adilan, penindasan fisik dan mental, serta keterbelakangan. Sekaligus untuk merubah perilaku masyarakat menjadi masyarakat yang sadar akan hak dan kewajiban, inovatif, kreatif, produktif, emansipatif, dan memiliki harkat dan martabat, sebagai ciri-ciri masyarakat paripurna. Di pihak lain, pemerintah yang reformis, dan dunia usaha yang komit serta menyadari di mana dan dari mana mereka hidup, adalah perpanjangan tangan Tuhan, yang ditakdirkan untuk membela kaum miskin dan duafa.
Banyak di antara kita yang sibuk menyusun daftar gelar di depan dan di belakang nama, mulai dari gelar akademis, gelar adat, gelar kebangsawanan, gelar keagamaan, tapi susunan gelar itu tidak cukup untuk membuktikan apa yang dapat kita sumbangkan dalam menghapus jejak kemiskinan itu. Lain lagi di daerah, para pejabat publik berlomba mengumpulkan tanda jasa, piagam penghargaan dan trofi kehormatan, sebagai tanda penghargaan atas keberhasilan dalam berbagai bidang. Tetapi tanda jasa dan aneka trofi penghargaan itu hanya menjadi ornamen pribadi bagi tuannya. Banyak pakar menulis tentang kemiskinan, tetapi tulisan itu hanya untuk dibaca, menjadi referensi bagi siapa saja yang ingin berbicara tentang kemiskinan. Tulisan-tulisan yang sangat berbobot itu tidak mampu menggerakkan hati dan tangan pembacanya untuk memulai sebuah action plan menolong orang miskin. Keinginan menggusur kemiskinan telah berubah menjadi keinginan menggusur orang miskin. Lihat saja, mereka yang miskin tidak bisa eksis di perkotaan, tergusur karena tidak memiliki modal sosial dan modal ekonomi. Ketika mereka mencoba peruntungan dengan merambah ke hutan, mereka juga digusur, karena hutan-hutan sudah dikapling. Lantas mereka harus kemana?
Sebenarnya sudah banyak, bahkan sudah terlalu banyak program dan agenda yang dirancang oleh pemerintah dalam penanganan masalah kemiskinan. Saking banyaknya, kadang kala terjadi tumpang tindih. Tetapi harus diakui, bahwa program dan agenda yang disusun oleh pemerintah tidak berorientasi kepada penyelesaian akar permasalahan kemiskinan, sebagai mana dinyatakan dalam tiga agenda maha dahsyat di atas. Pemerintah lebih cenderung merancang program yang bersifat membantu, memberi, menolong dan menyediakan (providing). Bukan program yang bersifat pemberdayaan (empowerment) dan memampukan (enabling). Program rancangan pemerintah itu lebih berorientasi kepada rasa belas kasihan. Bahkan muncul wacana untuk melayani masyarakat dengan program yang dikenal dengan paket serba gratis. Semua pihak, baik kalangan eksekutif, legislatif, maupun kalangan masyarakat, termasuk masyarakat miskin itu sendiri, sepatutnya segera meninggalkan konsep ini.
Agaknya ide serba gratis bermula dari kegiatan mencari simpatik masyarakat dalam menyongsong pesta demokrasi. Lalu bergulir secara spontan dari bibir para pejabat publik, sebagai bumbu penyedap, ketika berhadapan dengan masyarakat. Simak saja pidato para pejabat publik, di sana akan terdengan program serba gratis itu. Mulai dari pendidikan gratis, berobat gratis, KTP gratis, perumahan gratis, dan berbagai bentuk penggratisan lainnya. Ide-ide semacam ini tidak akan pernah mampu mendewasakan masyarakat, karena itu adalah konsep yang tidak mendidik. Hanya akan menimbulkan penyakit ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah. Masyarakat yang dijangkiti penyakit ketergantungan memiliki sifat lemah, tidak berdaya, kehilangan kreatifitas dan produktivitas. Mereka akan menjadi beban abadi bagi pemerintah. Perilaku semacam itu sulit untuk dirubah, apalagi disembuhkan, jika sudah terbiasa hidup dari uluran tangan lingkungannya.
Negara-negara maju dan kaya sekalipun, tidak mendidik masyarakatnya untuk menerima segala sesuatunya dengan gratis. Mereka justeru lebih giat memacu produkfitas masyarakatnya melalui berbagai program motivasi dan pencerdasan. Oleh sebab itu, lupakan ide-ide tidak sehat itu, kecuali untuk tujuan jangka pendek dan bersifat sementara. Konsep pelayanan gratis mungkin masih relevan untuk menjaga agar dinamika sosial masyarakat, terutama masyarakat miskin itu tidak terhenti sama sekali. Karena, jika dinamika sosial terhenti, masyarakat cenderung kehilangan nalar, berbuat nekad, brutal, bertindak agresif dan anarkis, serta sulit dikendalikan. Akan tetapi, sekali lagi, konsep ini tidak dapat ditujukan untuk memberdayakan masyarakat, apalagi untuk menghapus jejak kemiskinan.
Para pakar ekonomi pembangunan seperti Hernando de Soto, Muhammad Yunus, Gustaf Fritz Papanek, Sri-Edi Swasono, tidak merekomendasikan pelayanan serba gratis dalam mengentaskan kemiskinan di dunia. Mereka lebih sepakat untuk menerapkan konsep pemberdayaan (empowerment) bagi kaum miskin. Agaknya, pemerintah perlu belajar dari berbagai pengalaman negara lain, yang telah berhasil mencerdaskan kehidupan masyarakatnya. Kadangkala, pengalaman yang diterapkan di suatu negara kelihatan aneh dan di luar kelaziman. Oleh sebahagian orang, terutama oleh mereka yang berada pada level pembuat kebijakan dan pengambil keputusan, konsep itu dianggap aneh dan tidak masuk akal, dan tidak memiliki rujukan formal. Akan tetapi, justeru dari konsep yang aneh-aneh dan tidak masuk akal itu pula sering muncul keberhasilan yang sangat mencengangkan banyak orang. Lihat saja apa yang telah dilakukan oleh Muhammad Yunus, penerima Nobel perdamaian 2006. Laki-laki asal Chittagong, Bangladesh, menerima nobel perdamaian karena telah berhasil mengangkat taraf hidup orang-orang miskin di negaranya, justeru dengan konsep di luar kelaziman.
Adakah hubungan antara kemiskinan dengan perdamaian sehingga Muhammad Yunus menerima hadiah yang sangat bergengsi itu? ”Perdamaian yang sesungguhnya tak akan bisa dicapai jika ada sekelompok populasi dalam jumlah besar yang tidak bisa keluar dari jerat kemiskinan. Kredit mikro adalah salah satu cara untuk mengatasinya”, demikian pernyataan resmi Komite, yang dikeluarkan di Oslo, Oktober lalu (Tempo, November 2006).
Ternyata, masalah kemiskinan adalah merupakan faktor dominan problematika perdamaian. Apa yang dilakukan oleh Muhammad Yunus pada awalnya hanyalah konsep sederhana di luar konsep formal yang sudah baku. Bayangkan, jutaan orang miskin di Bangladesh, puluhan ribu diantaranya adalah pengemis, dan kebanyakan diantaranya adalah kaum perempuan, sekarang sudah bisa melepaskan diri dari kungkungan kemiskinan, melalui sentuhan tangan dinginnya. Bahkan pakar pembangunan kaliber internasional Hernando de Soto, tak ketinggalan mengungkapkan pujiannya dan mengatakan bahwa Muhammad Yunus memang pantas untuk mendapatkan Nobel.
Konsep pemberdayaan kaum miskin yang dikembangkan oleh Muhammad Yunus menjadi sebuah sistem, kini menjadi contoh bagi hampir seluruh negara berpenduduk miskin dunia. Konsep itu mampu mengangkat taraf hidup kaum miskin, pengemis, dan kebanyakan di antaranya adalah perempuan. Kita bahkan bisa memanfaatkan perkumpulan-perkumpulan warga seukuran kepengurusan masjid, yang mengelola keuangan masjid, untuk membentuk kelompok kegiatan produktif. Kelompok kegiatan produktif ini bukan hanya semata berorientasi kepada peningkatan perekonomian keluarga, tetapi menyangkut segala aspek kehidupan masyarakat, terutama pendidikan bagi anak-anak.
Pendidikan tak pelak menjadi faktor utama dalam program mencerdaskan kehidupan masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Gustav Fritz Papanek, Doktor ekonomi dari universitas Harvard, arkitek yang menjadi designer arah dan strategi pembangunan ekonomi Indonesia di awal pemerintahan Orde Baru. Dalam wawancara dan diskusi dengan beberapa wartawan dan ekonom, penulis buku The Indonesian Economy (1980) ini mengatakan, bahwa pendidkan merupakan salah satu faktor kunci di dalam pemberantasan kemiskinan. Apa yang disampaikan oleh pakar kemiskinan, yang telah mendedikasikan hidupnya untuk masalah kemiskinan selama hampir 50 tahun itu, tentu bukan teori belaka. Ia telah menjadi konsultan bagi seluruh negara miskin yang menyebar di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Memberikan metode untuk meningkatkan pendapatan orang msikin, dan merancang program dan kebijakan untuk memperbaiki struktur dan perilaku sosial masyarakat miskin.
Kemiskinan bukanlah budaya, nasib, warisan, apalagi sebagai kutukan dari Tuhan. Tapi suatu kondisi sosial yang ditandai dengan keadaan serba terbatas. Keserba terbatasan itu tentu ada penyebabnya, maka mengahapus kemiskinan berarti meniadakan segala penyebab keterbatasan itu. Menghapus penyebab kemiskinan bukanlah hal yang mudah, tetapi juga bukan merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Banyak cerita tentang keberhasilan dan juga kegagalan, seputar pengentasan kemiskinan. Mengentaskan kemiskinan tidak dimulai dengan acara memperdebatkan besaran angka-angka penduduk miskin, mengurai kriteria kemiskinan, membagi jenis kemiskinan, atau mengungkap data historis lainnya. Karena, semakin lama dan sering perdebatan itu berlangsung, semakin menggiring pelakunya untuk mendapatkan banyak teori seputar kemiskinan. Padahal kita tidak butuh teori-teori. Semoga saja, sayembara bertema “Wiranto Mendengar Aspirasi Rakyat, Saatnya Rakyat Bicara Soal Kemiskinan”, seperti yang diberitakan oleh Kompas, akan menyumbangkan alternatif terbaik untuk pengentasan kemiskinan di Indonesia.
(Uraian lengkap, metoda, dan praktek pengentasan kemiskinan ditulis dalam buku “Menghapus Jejak Kemiskinan, An Unconventional Approach, Kampar Way”, karya Alfian Malik, ISBN 978-979-792-128-6)
Terlepas dari segala kepentingan yang ada di balik sayembara itu, kita semua perlu menduga bahwa Wiranto yang dulu pernah menjadi patriot di medan tempur, kini sedang menunjukkan patriotisme baru di medan yang jauh lebih berat, memerangi kemiskinan. Bukan sekali ini saja ketua Partai Hanura ini menunjukkan kepeduliannya terhadap kemiskinan, yang meskipun masih sebatas konsep, tetapi setidaknya kepedulian terhadap kemiskinan mesti dimulai dengan konsep yang benar. Beberapa waktu yang lalu, ketika berbicara tentang angka-angka kemiskinan di salah satu stasion televisi, kontan membuat pemerintah seperti kesetrum. Lalu terjadi perdebatan sengit di lembaga legislatif dan eksekutif tentang angka kemiskinan di Indonesia. Lalu tayangan itu menghilang, padahal sangat diperlukan untuk menggugah semangat patriotisme masyarakat yang mampu untuk ikut menjadi patriot.
Mungkin para eksekutor dan legislator itu lupa bahwa pengentasan kemiskinan tidak dimulai dengan memperdebatkan angka-angka. Karena besar atau kecil, masalah kemiskinan di Indonesia adalah realita yang sangat menyakitkan. Seandainya saja, pemerintah mencanangkan program nasional “Hidup Bersama Orang Miskin”, dimana kepada setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, anggota legislatif dan semua orang kaya diwajibkan untuk tinggal dan hidup bersama di rumah orang miskin selama satu hari saja, satu hari saja, niscaya tidak akan ada lagi perdebatan tentang angka, apalagi berteori tentang jenis-jenis kemiskinan. Ternayata orang miskin tidak memerlukan ahli berdebat, tetapi patriot yang siap bertempur dan merubah kondisi mereka.
Kembali kepada masalah sayembara di atas, masyarakat memang perlu diajak untuk ikut serta menyelesaikan persoalannya sendiri. Apalagi, Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki demografi, dengan potensi dan persoalan yang berbeda. Daerah harus menentukan sendiri cara menyejahterakan masyarakatnya, tanpa harus menunggu aba-aba dari pusat. Ia bukanlah seperti bermain orkestra, yang harmonisasinya sangat tergantung gerak tangan dan lenggok tubuh seorang konduktor. Ketika di Jakarta orang berteriak tentang membaiknya indikator-indikator ekonomi makro nasional, justeru banyak daerah sedang bermimpi buruk tentang bahaya kemiskinan yang kian poten.
Ada dua alasan fundamental yang menyebabkan mengapa pemerintah wajib menempatkan persoalan pengentasan kemiskinan ke dalam kebijakan dengan kategori high priority. Alasan pertama, dari perspektif keagamaan, Allah SWT memerintahkan kepada manusia, untuk peduli kepada orang miskin. Pada beberapa surat di dalam al Qur’an, Allah SWT lugas mengatakan ”...tha’aamil miskiin”, memberi makan orang miskin, sebuah kiasan yang sangat sarat dengan perintah. Alasan kedua, dari perspektif kenegaraan, konstitusi menjamin hak-hak sosial setiap warga negara bahwa ; ”tiap-tiap warga negara berhak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Di sini terkandung makna yang paling hakiki, bahwa kata-kata ”berhak akan pekerjaan”, merupakan sebuah perintah dan komando (imperative) untuk melawan dan menghentikan laju angka pengangguran. Sedangkan kata-kata ”penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” adalah cita-cita yang wajib dicapai untuk memberantas kebodohan, memerangi kemiskinan, dan menyelesaikan bentuk destruktif sosial lainnya akibat kebodohan dan kemiskinan itu.
Kelalaian dan kealpaan pemerintah di dalam mengapresiasi perintah agama dan amanat konstitusi sebagaimana disebutkan di atas, kini telah menuai cobaan dari Tuhan. Para pemimpin agaknya tidak percaya, bagaimana mungkin sebuah negeri yang sangat kaya dan memiliki sumber daya alam melimpah, rakyatnya bisa miskin. Tetapi apa yang terjadi kemudian, masalah kemiskinan di Indonesia menggelinding seperti bola salju, berubah menjadi masalah besar, bahkan sudah menjadi terlalu besar. Jika merujuk kepada kriteria Bank Dunia (World Bank), hampir separoh penduduk Indonesia adalah orang msikin. Kita sangat yakin, jika dibiarkan sendiri, pemerintah tidak akan pernah dapat mengentaskan, apalagi menghapusnya dari negeri ini. Pengentasan kemiskinan memerlukan dukungan dari semua pihak, terutama dukungan politik yang dapat meluruskan arah kebijakan pemerintah, tepat menuju episentrum pengentasan kemiskinan, serta menggiring peran serta dunia usaha dalam mengeliminir polarisasi sosial.
Kemiskinan adalah kondisi sosial, merupakan produk hulu yang dihasilkan dari perbuatan salah urus (mismanagement) lingkungan internal dan eksternal manusia. Dikatakan sebagai produk hulu, karena setelah kemiskinan, akan muncul masalah-masalah destruksi sosial lainnya, yang merupakan turunan dari persoalan kemiskinan. Oleh sebab itu, kemiskinan bukanlah kondisi ketidak beruntungan yang diwariskan, sebagaimana pemahaman banyak pihak. Tetapi kemiskinan diciptakan dari kesalahan dalam mengelola kedua lingkungan itu. Kebodohan dan apatisme, adalah faktor internal yang memberi sumbangsih dasar terhadap penciptaan kemiskinan. Sementara kemauan politik, arah kebijakan pemerintah, dan polarisasi sosial masyarakat, adalah faktor eksternal, yang berperan langsung dalam mempercepat proses penciptaan kemiskinan.
Karena kemiskinan dapat diciptakan, maka analoginya, kemiskinan juga bisa dientaskan. Mengentaskan kemiskinan bukan berarti merubah status orang miskin menjadi kaya. Apa jadinya jika seisi dunia ini semua orang kaya. Tentu tidak terpikirkan siapa yang akan menjadi pekerja, ketika semua orang menjadi bos. Mengentaskan kemiskinan bukan pula sekedar merubah status, tetapi hakikatnya adalah memberikan kemampuan kepada setiap orang untuk memperoleh kebutuhan dasar hidup, ketika kebutuhan itu diperlukan.
Ada tiga agenda maha dahsyat yang dapat menghapus jejak kemiskinan, yaitu; 1) Mencerdaskan kehidupan masyarakat, 2) Mereformasi penyelenggaraan pemerintahan, mereorientasi arah kebijakan pemerintah, dan 3) Meminta komitmen total dan sumbangsih nyata keikutsertaan dunia usaha dalam mengeleminir polarisasi sosial. Ketiga agenda ini, jika didukung oleh kekuatan politik, dan dibarengi dengan penegakan hukum yang seadil-adilnya, maka secara teoritis akan menjadi sebuah aksioma, dan secara praktik akan menjadi motor-driven yang menggerakkan mesin-mesin penghapus jejak kemiskinan itu.
Mencerdaskan kehidupan masyarakat adalah upaya empowerment masyarakat, agar memiliki kecerdasan sosial, kultural, politik, eknomi, biologi, jasmani, rokhani, spiritual, emosional, dan kecerdasan intelektual. Kesemua kecerdasan itu adalah modal sosial, yang harus dimiliki oleh manusia untuk melepaskan diri dari belenggu ketidak berdayaannya, kebodohan, ketakutan, ketidak adilan, penindasan fisik dan mental, serta keterbelakangan. Sekaligus untuk merubah perilaku masyarakat menjadi masyarakat yang sadar akan hak dan kewajiban, inovatif, kreatif, produktif, emansipatif, dan memiliki harkat dan martabat, sebagai ciri-ciri masyarakat paripurna. Di pihak lain, pemerintah yang reformis, dan dunia usaha yang komit serta menyadari di mana dan dari mana mereka hidup, adalah perpanjangan tangan Tuhan, yang ditakdirkan untuk membela kaum miskin dan duafa.
Banyak di antara kita yang sibuk menyusun daftar gelar di depan dan di belakang nama, mulai dari gelar akademis, gelar adat, gelar kebangsawanan, gelar keagamaan, tapi susunan gelar itu tidak cukup untuk membuktikan apa yang dapat kita sumbangkan dalam menghapus jejak kemiskinan itu. Lain lagi di daerah, para pejabat publik berlomba mengumpulkan tanda jasa, piagam penghargaan dan trofi kehormatan, sebagai tanda penghargaan atas keberhasilan dalam berbagai bidang. Tetapi tanda jasa dan aneka trofi penghargaan itu hanya menjadi ornamen pribadi bagi tuannya. Banyak pakar menulis tentang kemiskinan, tetapi tulisan itu hanya untuk dibaca, menjadi referensi bagi siapa saja yang ingin berbicara tentang kemiskinan. Tulisan-tulisan yang sangat berbobot itu tidak mampu menggerakkan hati dan tangan pembacanya untuk memulai sebuah action plan menolong orang miskin. Keinginan menggusur kemiskinan telah berubah menjadi keinginan menggusur orang miskin. Lihat saja, mereka yang miskin tidak bisa eksis di perkotaan, tergusur karena tidak memiliki modal sosial dan modal ekonomi. Ketika mereka mencoba peruntungan dengan merambah ke hutan, mereka juga digusur, karena hutan-hutan sudah dikapling. Lantas mereka harus kemana?
Sebenarnya sudah banyak, bahkan sudah terlalu banyak program dan agenda yang dirancang oleh pemerintah dalam penanganan masalah kemiskinan. Saking banyaknya, kadang kala terjadi tumpang tindih. Tetapi harus diakui, bahwa program dan agenda yang disusun oleh pemerintah tidak berorientasi kepada penyelesaian akar permasalahan kemiskinan, sebagai mana dinyatakan dalam tiga agenda maha dahsyat di atas. Pemerintah lebih cenderung merancang program yang bersifat membantu, memberi, menolong dan menyediakan (providing). Bukan program yang bersifat pemberdayaan (empowerment) dan memampukan (enabling). Program rancangan pemerintah itu lebih berorientasi kepada rasa belas kasihan. Bahkan muncul wacana untuk melayani masyarakat dengan program yang dikenal dengan paket serba gratis. Semua pihak, baik kalangan eksekutif, legislatif, maupun kalangan masyarakat, termasuk masyarakat miskin itu sendiri, sepatutnya segera meninggalkan konsep ini.
Agaknya ide serba gratis bermula dari kegiatan mencari simpatik masyarakat dalam menyongsong pesta demokrasi. Lalu bergulir secara spontan dari bibir para pejabat publik, sebagai bumbu penyedap, ketika berhadapan dengan masyarakat. Simak saja pidato para pejabat publik, di sana akan terdengan program serba gratis itu. Mulai dari pendidikan gratis, berobat gratis, KTP gratis, perumahan gratis, dan berbagai bentuk penggratisan lainnya. Ide-ide semacam ini tidak akan pernah mampu mendewasakan masyarakat, karena itu adalah konsep yang tidak mendidik. Hanya akan menimbulkan penyakit ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah. Masyarakat yang dijangkiti penyakit ketergantungan memiliki sifat lemah, tidak berdaya, kehilangan kreatifitas dan produktivitas. Mereka akan menjadi beban abadi bagi pemerintah. Perilaku semacam itu sulit untuk dirubah, apalagi disembuhkan, jika sudah terbiasa hidup dari uluran tangan lingkungannya.
Negara-negara maju dan kaya sekalipun, tidak mendidik masyarakatnya untuk menerima segala sesuatunya dengan gratis. Mereka justeru lebih giat memacu produkfitas masyarakatnya melalui berbagai program motivasi dan pencerdasan. Oleh sebab itu, lupakan ide-ide tidak sehat itu, kecuali untuk tujuan jangka pendek dan bersifat sementara. Konsep pelayanan gratis mungkin masih relevan untuk menjaga agar dinamika sosial masyarakat, terutama masyarakat miskin itu tidak terhenti sama sekali. Karena, jika dinamika sosial terhenti, masyarakat cenderung kehilangan nalar, berbuat nekad, brutal, bertindak agresif dan anarkis, serta sulit dikendalikan. Akan tetapi, sekali lagi, konsep ini tidak dapat ditujukan untuk memberdayakan masyarakat, apalagi untuk menghapus jejak kemiskinan.
Para pakar ekonomi pembangunan seperti Hernando de Soto, Muhammad Yunus, Gustaf Fritz Papanek, Sri-Edi Swasono, tidak merekomendasikan pelayanan serba gratis dalam mengentaskan kemiskinan di dunia. Mereka lebih sepakat untuk menerapkan konsep pemberdayaan (empowerment) bagi kaum miskin. Agaknya, pemerintah perlu belajar dari berbagai pengalaman negara lain, yang telah berhasil mencerdaskan kehidupan masyarakatnya. Kadangkala, pengalaman yang diterapkan di suatu negara kelihatan aneh dan di luar kelaziman. Oleh sebahagian orang, terutama oleh mereka yang berada pada level pembuat kebijakan dan pengambil keputusan, konsep itu dianggap aneh dan tidak masuk akal, dan tidak memiliki rujukan formal. Akan tetapi, justeru dari konsep yang aneh-aneh dan tidak masuk akal itu pula sering muncul keberhasilan yang sangat mencengangkan banyak orang. Lihat saja apa yang telah dilakukan oleh Muhammad Yunus, penerima Nobel perdamaian 2006. Laki-laki asal Chittagong, Bangladesh, menerima nobel perdamaian karena telah berhasil mengangkat taraf hidup orang-orang miskin di negaranya, justeru dengan konsep di luar kelaziman.
Adakah hubungan antara kemiskinan dengan perdamaian sehingga Muhammad Yunus menerima hadiah yang sangat bergengsi itu? ”Perdamaian yang sesungguhnya tak akan bisa dicapai jika ada sekelompok populasi dalam jumlah besar yang tidak bisa keluar dari jerat kemiskinan. Kredit mikro adalah salah satu cara untuk mengatasinya”, demikian pernyataan resmi Komite, yang dikeluarkan di Oslo, Oktober lalu (Tempo, November 2006).
Ternyata, masalah kemiskinan adalah merupakan faktor dominan problematika perdamaian. Apa yang dilakukan oleh Muhammad Yunus pada awalnya hanyalah konsep sederhana di luar konsep formal yang sudah baku. Bayangkan, jutaan orang miskin di Bangladesh, puluhan ribu diantaranya adalah pengemis, dan kebanyakan diantaranya adalah kaum perempuan, sekarang sudah bisa melepaskan diri dari kungkungan kemiskinan, melalui sentuhan tangan dinginnya. Bahkan pakar pembangunan kaliber internasional Hernando de Soto, tak ketinggalan mengungkapkan pujiannya dan mengatakan bahwa Muhammad Yunus memang pantas untuk mendapatkan Nobel.
Konsep pemberdayaan kaum miskin yang dikembangkan oleh Muhammad Yunus menjadi sebuah sistem, kini menjadi contoh bagi hampir seluruh negara berpenduduk miskin dunia. Konsep itu mampu mengangkat taraf hidup kaum miskin, pengemis, dan kebanyakan di antaranya adalah perempuan. Kita bahkan bisa memanfaatkan perkumpulan-perkumpulan warga seukuran kepengurusan masjid, yang mengelola keuangan masjid, untuk membentuk kelompok kegiatan produktif. Kelompok kegiatan produktif ini bukan hanya semata berorientasi kepada peningkatan perekonomian keluarga, tetapi menyangkut segala aspek kehidupan masyarakat, terutama pendidikan bagi anak-anak.
Pendidikan tak pelak menjadi faktor utama dalam program mencerdaskan kehidupan masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Gustav Fritz Papanek, Doktor ekonomi dari universitas Harvard, arkitek yang menjadi designer arah dan strategi pembangunan ekonomi Indonesia di awal pemerintahan Orde Baru. Dalam wawancara dan diskusi dengan beberapa wartawan dan ekonom, penulis buku The Indonesian Economy (1980) ini mengatakan, bahwa pendidkan merupakan salah satu faktor kunci di dalam pemberantasan kemiskinan. Apa yang disampaikan oleh pakar kemiskinan, yang telah mendedikasikan hidupnya untuk masalah kemiskinan selama hampir 50 tahun itu, tentu bukan teori belaka. Ia telah menjadi konsultan bagi seluruh negara miskin yang menyebar di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Memberikan metode untuk meningkatkan pendapatan orang msikin, dan merancang program dan kebijakan untuk memperbaiki struktur dan perilaku sosial masyarakat miskin.
Kemiskinan bukanlah budaya, nasib, warisan, apalagi sebagai kutukan dari Tuhan. Tapi suatu kondisi sosial yang ditandai dengan keadaan serba terbatas. Keserba terbatasan itu tentu ada penyebabnya, maka mengahapus kemiskinan berarti meniadakan segala penyebab keterbatasan itu. Menghapus penyebab kemiskinan bukanlah hal yang mudah, tetapi juga bukan merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Banyak cerita tentang keberhasilan dan juga kegagalan, seputar pengentasan kemiskinan. Mengentaskan kemiskinan tidak dimulai dengan acara memperdebatkan besaran angka-angka penduduk miskin, mengurai kriteria kemiskinan, membagi jenis kemiskinan, atau mengungkap data historis lainnya. Karena, semakin lama dan sering perdebatan itu berlangsung, semakin menggiring pelakunya untuk mendapatkan banyak teori seputar kemiskinan. Padahal kita tidak butuh teori-teori. Semoga saja, sayembara bertema “Wiranto Mendengar Aspirasi Rakyat, Saatnya Rakyat Bicara Soal Kemiskinan”, seperti yang diberitakan oleh Kompas, akan menyumbangkan alternatif terbaik untuk pengentasan kemiskinan di Indonesia.
(Uraian lengkap, metoda, dan praktek pengentasan kemiskinan ditulis dalam buku “Menghapus Jejak Kemiskinan, An Unconventional Approach, Kampar Way”, karya Alfian Malik, ISBN 978-979-792-128-6)
Salam,
ReplyDeletePak...hebat juga ide itu! kayaknya gampang banget yach. Moga-moga aja pemerintah mau dan peduli
Mau?
Asswrwb,
ReplyDeletePemikiran yang bagus.Memang untuk berbuat baik,berbagi dengan sesama itu gak perlu pemerintah ,tapi kita perlu memerintah ... hati kita masing-masing.
Mari kita lebih peduli kepada sesama!
Wass.