Tribute Blog...Peduli Kemiskinan

↑ Grab this Headline Animator

08 May 2008

Bersama (miskin selama 63 tahun) kita bisa

Belakangan ini banyak media massa menyorot dan memberitakan jeritan orang miskin. Mengapa nasib kaum marginal ini kembali marak diberitakan. Pertama, saat ini banyak daerah yang akan dan sedang melangsungkan pemilihan kepala daerah, dan menjelang pemilihan umum. Seperti biasa, kaum miskin adalah objek dan lahan yang paling subur untuk dijadikan komoditas politik yang akan memberikan marjin politik yang cukup signifikan bagi mendongkrak populariras partai atau individu. Kedua, harga minyak dunia yang terus merangkak naik, menyebabkan pemerintah wajib menaikkan harga BBM dalam negeri untuk melokalisir persoalan ekonomi nasional. Kenaikan BBM itu sudah pasti akan memicu kenaikan harga kebutuhan pokok, yang akan membuat orang yang tadinya hidup sederhana akan turun ke peringkat miskin. Orang-orang inilah yang sekarang sedang menjerit di mana-mana. Dan orang yang selama ini hidup dalam kemiskinan justeru tidak lagi menjerit, mereka terdiam (mungkin sedang berusaha mendengar orang miskin baru, yang sedang dalam proses pemiskinan, sedang menjerit).

Kalangan eksekutif dan legislatif kukuh berlomba-lomba membuat statemen di media massa, mengatakan bahwa pemerintah sudah berbuat maksimal untuk merubah nasib kaum miskin. Tapi (kata tapi selalu ada untuk menjustifikasi), hal ini bukan terjadi di sini saja, kondisi ekonomi global memang sedang dalam kondisi payah. Para pengamat dan kritikus sosial, seperti biasa, tidak sepakat dan justeru selalu saja mengatakan bahwa usaha pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan belum menyentuh persoalan mendasar kemiskinan itu. Tapi mereka seperti masih merahasiakan persoalan mendasar itu, dan entah karena tidak tahu apa persoalan mendasar yang dimaksud, atau mungkin karena memang persoalan mendasar itu sudah terlalu banyak, namun pernyataan-pernyataan itu justeru tidak ada dasarnya. Ibarat sebuah pertandingan sepak bola internasional, antara pelatih, penonton dan komentator, saling memberikan pemikirannya saat napas para pemain turun naik dan kehabisan tenaga di ujung lapangan (anggap saja pemain PSSI itu orang miskinnya).

Sejak negara ini berdiri telah terjadi beberapa kali pergantian kepemimpinan nasional. Silih berganti para pemimpin itu telah kehilangan momentum untuk menyejahterakan masyarakat, dan persoalan kemiskinan selalu menjadi beban pemerintah sepanjang waktu. Jika kita misalkan negara ini seorang yang sedang duduk di bangku sekolah, yang sedang menuntut ilmu tentang pengentasan kemiskinan. Melahap ratusan buku, melumat ratusan teori, melakukan ratusan percobaan di laboratorium, mengantongi puluhan ijazah, sertifikat, piagam penghargaan, gelar, dan tentu saja menghabiskan segunung biaya, namun setalah belajar selama 63 tahun, ia berhasil merumuskan berbagai teori tentang pengentasan kemiskinan, tapi gagal menemukan format yang benar tentang cara mengentaskan kemiskinan itu. Itulah sebuah perjalanan panjang yang sia-sia. Nabi Muhammad saw (manusia biasa) mengakhiri keemasan hidupnya pada usia yang sama, 63 tahun. Beliau teguh dan kukuh berpegang kepada ajaran yang dibawanya, namun sangat peka terhadap perubahan situasi dan kondisi masyarakat.

Agaknya pemerintah kita juga perlu melakukan hal yang sama, tetap teguh berpegang kepada undang-undang dasar negara, namun peka terhadap perubahan yang terjadi. Lupakan cara-cara yang ternyata tidak berhasil itu. Sebagaimana saya tulis dalam buku “Menghapus Jejak Kemiskinan, An Unconventional Approach, Kampar Way”, pengentasan kemiskinan bukan dengan memberi bantuan langsung tunai, membuat berbagai program subsidi dan program belas kasihan lainnya. Program itu hanya akan menjadikan orang miskin menjadi malas dan semakin miskin. Semua program itu akan menjadi beban abadi pemerintah yang menyebabkan masyarakat yang dibantu merasa tidak pernah terbantu, padahal pemerintah telah bercucuran keringat. Mungkin cucuran keringat itulah yang dimaksud oleh pihak eksekutif dan legislatif bahwa pemerintah telah berbuat maksimal.

Kembali kepada para pengamat dan kritikus sosial yang selalu mengatakan bahwa program pengentasan kemiskinan di Indonesia belum menyentuh kepada persoalan mendasar kemiskinan. Cobalah untuk berembug nasional untuk merumuskan apa persoalan mendasar yang dimaksud. Cobalah bapak-bapak dan ibu-ibu yang terhormat datang ke daerah kantong-kantong miskin, tinggal bersama mereka barang sehari dua hari saja, agar bisa menyaksikan, merasakan dan menemukan persoalan mendasar itu. Ia tidak cukup dengan hanya melihat mereka dari atas mobil, atau membaca buku tentang kemiskinan, atau menonton televisi, atau membaca laporan kepala daerah, atau mendengar orasi politikus yang sedang syahwat, atau membaca laporan BPS, itu tidak riil.

Mengapa pemerintah mampu membuat hidup para pegawai pemerintah relatif sejahtera. Mengapa itu tidak bisa terjadi pada masyarakat? Padahal, jika pemerintah mau berupaya menjadikan masyarakat miskin menjadi kelompok produktif (dalam bentuk apa saja), menyeimbangkan antara produksi dan konsumsinya, niscaya mereka bisa melepaskan diri dari kemiskinan dan dari penyakit ketergantungan kepada bantuan. Tapi sekali lagi kenapa pemerintah selalu gagal?. Pegawai pemerintah sudah tidak ada lagi yang miskin, karena mereka menerima gaji dan pendapatan yang pasti disepanjang hayatnya. Kalaupun ada PNS yang hidup dalam kemiskinan, itu hanya karena ulah mereka sendiri, sifat konsumtif berlebihan, ingin memiliki segala sesuatu di luar batas kemampuan dan kapasitasnya. Dengan berbagai cara, mengutang, membeli secara kredit untuk berbagai barang, kemudian mengeluh gaji tidak cukup.

Hebatnya, keluhan ini selalu mendapat tanggapan dari pihak pemerintah sendiri dan oleh pihak legislatif, lalu kemudian gaji di naikkan dengan alasan demi meningkatkan produktifitas dan kinerja. Kalau saja gaji itu dinaikkan karena produktifitas dan prestasi kerja yang secara nyata mampu mengurangi angka kemiskinan, maka semua warga masyarakat patut salut kepada mereka. Tapi kalau hanya sekedar meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, sementara masyarakat yang akan dilayani merasa tidak/belum butuh dilayani (karena tidak ada yang mau diurus kecuali urusan perut), apa artinya semua itu. Sudah saatnya tupoksi satuan kerja diproyeksikan pada program pengentasan kemsikinan. Artinya, keberhasilan dalam mengentaskan kemiskinan harus dijadikan unsur utama dalam penilaian keberhasilan dan kinerja satuan kerja pemerintah dan pemerintah daerah.

Banyak orang bisa mengerti mengapa pemerintah harus mengambil keputusan untuk menaikkan harga BBM sebagai satu langkah terbaik namun tidak popular diantara langkah buruk yang dapat ditempuh. Meskipun banyak juga orang (yang tidak paham), terutama masyarakat awam, berteriak bahwa negara kita adalah negara kaya penghasil minyak dunia, sehingga tidak wajar kalau harga BBM dalam negeri dinaikkan. Yang berteriak itu bukan orang miskin, karena bagi kaum miskin mereka lebih menjerit karena kesulitan untuk mendapatkan bahan pokok. Jadi, manfaatkan momentum dan dampak positif dari kenaikan harga minyak dunia untuk mengurangi angka kemiskinan secara permanen.
(Tulisan yang berhubungan dapat dibaca pada buku “Menghapus Jejak Kemiskinan, An Unconventional Approach, Kampar Way” karya: Alfian Malik, ISBN 978-979-792-128-6)

2 comments:

  1. Artikel di Blog ini bagus dan berguna bagi para pembaca.Anda bisa lebih mempromosikan artikel anda di Infogue.com dan jadikan artikel anda topik yang terbaik bagi para pembaca di seluruh Indonesia.Telah tersedia plugin/widget.Kirim artikel dan vote yang terintegrasi dengan instalasi mudah dan singkat.Salam Blogger!!!

    http://nasional.infogue.com/
    http://nasional.infogue.com/bersama_miskin_selama_63_tahun_kita_bisa

    ReplyDelete
  2. Orang-orang miskin
    juga berasal dari kemah Ibrahim.
    (Sajak Orang-orang Miskin,Rendra 1978)

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentar Anda!

Alfian Malik's Facebook profile