Tribute Blog...Peduli Kemiskinan

↑ Grab this Headline Animator

10 June 2008

Low cost, high quality

Ketua Umum PGRI Mohammad Surya, sebagaimana dikutip dari salah satu media massa, menyatakan ketidaksetujuannya dengan istilah pendidikan gratis. Anggota DPD RI ini juga mengatakan bahwa adagium itu acapkali dijadikan alat kampanye oleh sebahagian calon kepala daerah dalam ajang Pilkada. “Di dalam pendidikan tidak terjadi transaksi jual beli, tetapi tranfer of knowledge atau transfer of skill, juga transfer of value. Karenanya, istilah pendidikan gratis hanya menyesatkan masyarakat. Kata “gratis” itu bukanlah bahasa pendidikan. Gratis, mahal, murah, itu bahasa dagang”, tegas Mohammad Surya dalam rapat pleno DPR RI. Ditambahkan lagi, karena tidak setuju dengan istilah itu, Surya berusaha meralat istilah yang kadung dipercayai masyarakat melalui janji-janji yang seringkali disampaikan calon kepala daerah saat berkampanye.
Masalah jargon “pendidikan gratis” ini sudah saya ungkapkan dalam buku “Menghapus jejak Kemiskinan, An Unconventional Approach, Kampar Way”, dan dalam beberapa posting yang relevan. Sebahagian besar masyarakat kita memang masih sangat menyukai segala sesuatu yang gratis, sehingga sangat mudah untuk dijadikan tema kampanye, baik oleh calon kepala daerah maupun calon anggota legislatif, atau bahkan mungkin oleh calon anggota DPD sendiri. Namun menurut hemat saya, istilah gratis yang diteriakkan oleh para petualang politik itu tidak perlu dipermasalahkan. Karena bukankah itu hanya sebatas janji? Lihat saja, janji itu selalu diikuti oleh kata-kata “……kalau saya terpilih, saya akan…..” Tapi, setelah terpilih, ternyata bukan masyarakat yang digratiskan, tetapi justeru merekalah yang menikmati berbagai layanan yang dibiayai pemerintah alias gratis itu.

Tapi saya lebih setuju lagi bila janji-janji itu tidak ditepati. Karena seandainya para petualang politik itu benar-benar menerapkan pendidikan gratis, maka dunia pendidikan kita akan semakin babak belur. Dengan pendidikan berbayar saja kondisi pendidikan di negara kita sangat memprihatinkan, apatah lagi gratis. Jadi, akan lebih bijaksana bila seluruh komponen masyarakat menuntut kepada pemerintah untuk menambah alokasi dana pendidikan yang lebih tinggi, sehingga masyarakat dapat menikmati pendidikan berbiaya rendah, berkualitas tinggi (low cost, high quality)

Dalam kondisi perekonomian masyarakat yang serba sulit, harga-harga kebutuhan pokok semakin mahal, membuat banyak diantara masyarakat yang tadinya hidup pas-pasan, kini hidup ngos-ngosan. Bagaimana kalau pemerintah mencanangkan program 1 (satu) hari dalam setiap minggu serba gratis untuk para ngos-ngosan itu?. Pada hari itu, semua kebutuhan dan keperluan masyarakat yang kurang mampu digratiskan, seperti makan gratis. Cukup satu hari saja dalam satu minggu. Jadi, mereka tinggal memikirkan bagaimana hidup untuk enam hari sisanya.

Mereka yang skeptis akan mengatakan, repot amat melayani masyarakat, bahkan menyiapkan makan gratis. Lebih baik dikasih uang saja seperti BLT. Kalau tidak mau repaot jangan jadi pelayan masyarakat. Ngurusin masyarakat, apalagi ngurusin orang miskin memang agak repot. Makanya jangan biarkan masyarakat menjadi semakin miskin. Kalau dalam kondisi sulit ini para pegawai negeri menerima gaji ke-13, dan ada ancang-ancang menaikkan (menyesuaikan) gaji akibat kenaikan harga bahan pokok, nah giliran orang miskin kapan diberi gaji ke-13 dan kapan akan dinaikkan gajinya? Jangan BLT melulu, karena BLT + BHT = BLL (Bantuan Langsung Tunai + Biaya Hidup Tinggi = Bantuan Langsung Ludes). Mau….?

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentar Anda!

Alfian Malik's Facebook profile