Tribute Blog...Peduli Kemiskinan

↑ Grab this Headline Animator

15 June 2008

Lumpur Similiar, Cyber Spiritual


Saya banyak menerima e-mail dan membaca resensi yang mengomentari novel saya berjudul “Lumpur Similar”. Sebahagian besar menilai cerita dalam novel tersebut terjebak pada hal-hal yang tidak logis dan tidak masuk akal. Peristiwa dan kejadian-kejadian yang seharusnya sangat penting, tapi justeru terjadi dengan sangat gampangnya, datar, dan kurang mampu memainkan emosi pembaca. Tokoh utamanya terlalu sempurna, terkenal, kaya, pintar dan dari kalangan atas. Sebahagian lagi justeru bertanya, apakah negeri bernama Lumpur itu benar-benar ada, dimana persis lokasinya, bahkan yang lebih lucu lagi, meminta informasi bagaimana bisa mencapai negeri itu. Hanya sayang, ketika berkunjung ke salah satu blog, saya menemukan ada orang yang ingin membuat resensi dengan meminjam resensi yang sudah ada pada blog itu?????

Sebagai rasa hormat saya kepada orang-orang yang telah mengapresiasi, membaca, dan memberi penilaian terhadap apa yang telah saya ceritakan, pada kesempatan ini saya menulis untuk mereka. Novel Lumpur Similar adalah murni fiktif, baik waktu, tempat, peristiwa maupun pelakunya. Saya memulai menulis dengan niat untuk menyuguhkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang ringan, datar, tidak dramatik, semua kejadian terjadi begitu cepat, dinamis dan kadang-kadang melompat dari satu kejadian ke kejadian lain. Sebuah peristiwa yang semestinya sangat penting dan dramatik, tiba-tiba saja saya tinggalkan, seolah-olah tidak tuntas, lalu pindah ke kejadian lain. Semua itu sengaja saya buat agar ada ruang kosong yang dapat dimanfaatkan oleh pembaca untuk mengembangkan detail cerita itu menurut yang mereka inginkan. Hasilnya?, itulah beragam reaksi itu.

Sesungguhnya, Lumpur Similar adalah pertemuan dua kutub. Antara orang kaya dengan orang miskin, orang kota dengan orang pedalaman, modern dengan primitif, nyata dan gaib, kebaikan dengan kejahatan, kerendahan hati dengan kesombongan, hitam dengan putih. Lumpur Similar bukan cerita tentang reli Sabang-Merouke, bukan cerita etnik, atau budaya, horor, mistis, religi, gaib atau cinta. Lumpur Similiar hanyalah sebuah manipestasi dari realita dunia yang mungkin belum atau jarang diungkapkan. Saya menyebutnya sebagai sebuah sensasi baru novel Indonesia dengan setting futuristik. Saya hanya ingin menyatukan kedua kutub itu sebagai salah satu syarat tercapainya kedamaian di dunia ini. Karena, selama masih ada polarisasi antara keduanya, jangan harap dunia ini akan damai.

Adakah sesuatu yang tidak logis, atau bahkan tidak masuk akal dalam cerita ini? Menurut saya tentu saja tidak ada. Tidak logis atau tidak masuk akal hanyalah sesuatu yang timbul karena keterbatasan logika dan akal itu sendiri sebagai instrumen pengukurnya. Semakin banyak hal-hal yang kita anggap tidak logis dan masuk akal berarti semakin jauh kita dari fitrah penciptaan manusia. Rasakanlah, betapa dinamisnya dunia ini, kalau kita tidak mengikutinya, maka setiap detik kita akan selalu dibuat tercengang. Sesuatu yang dulu dianggap tidak mungkin, kemudian justeru menjadi mungkin, bahkan sekarang malah menjadi biasa-biasa saja. Jadi, betapa lemahnya kita ini. Oleh sebab itu, dalam membuat ide cerita yang futuristik, saya berusaha untuk melupakan apa itu ketidaklogisan atau tidak masuk akal. Bagi saya, hanya satu yang tidak mungkin dalam ide cerita, yaitu menghidupkan yang sudah mati. Karena itu murni urusan Allah.

Lantas, bagaimana dengan tokoh yang serba sangat sempurna itu? Oh, di dunia ini segala-galanya ada. Mulai dari yang sangat sempurna sampai kepada yang sangat tidak sempurna, semua itu ciptaan Sang Maha Pencipta. Kita bisa mengenal yang sangat sempurna maupun yang tidak sempurna. Tinggal kita mau bergaul dengan kalangan mana

Akhirnya, tidak ada gading yang tak retak. Pun Lumpur Similar seperti gading itu. Semua tanggapan, komentar dan resensi dalam bentuk apapun adalah rangkaian kalimat-kalimat yang akan menjadi rapor, buku prestasi, dan begitu berharga bagi saya. Saya sangat merindukannya, dan saya sangat berterima kasih kepada sahabat-sahabat semua.
(ALFmalik@gmail.com)

4 comments:

  1. dalam menanggapi banyak pembaca, rupanya bapak dikeroyok dengan sejuta pertanyaan. akhirnya, bapak menjawabnya..... aku pikir, "pengarang sudah mati", jadi pembaca kemudian harus independent memberi tafsir sendiri atas sebuah karya.

    ok, terima kasih. selamat berkarya! sukses selalu...

    ReplyDelete
  2. Salam pak Mursidi,
    Saya merasa terhormat ketika membaca komentar ini, memang tidak pernah ada edisi revisi pada sebuah novel. Jadi...sekali ia dilepas...tak akan kembali lagi. amazing

    ReplyDelete
  3. Saya kagum dengan karya anda, salam kenal pak eh om (biar akrab manggil om saja):)

    oya, orang tua saya jg tinggal di riau, tepatnya di Ujungbatu-Rokan Hulu:)

    ReplyDelete
  4. Salam, kotak komentar ini ada berkat tutorial anda!, terima kasih sebelumnya.

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentar Anda!

Alfian Malik's Facebook profile