Ketika ingin mendongkrak popularitas, baik untuk mempertahankan kedudukan, atau saat akan bertarung dalam pemilihan umum atau pilkada, jargon “serba gratis” tak pelak selalu menjadi tema yang diusung oleh para petarung politik itu. Tema yang selalu berhasil membius nalar orang-orang kepepet. Tujuannya, katanya, untuk membela kaum miskin. Padahal, “serba gratis” itu tidak akan pernah dapat mengangkat dan melepaskan orang miskin untuk keluar dari orbit kemiskinan, tanpa empowerment. Serba gratis hanya akan menyebabkan mereka menjadi mengidap penyakit ketergantungan, ketergantungan kepada uluran tangan pemerintah. Tapi sampai kapan? Sekarang saja pemerintah sudah bersimbah keringat untuk mebiayai semua program bersubsidi. Masalah kemiskinan kelak akan menyebabkan orang kaya akan tidak bisa tidur nyenyak di negeri ini, bila polarisasi sosial itu tidak segera diatasi, percayalah. Pada titik keadaan tertentu orang akan nekad, brutal, anarkis, menabrak rambu dan ketentuan hukum, dan kehilangan nalar.
Jika dibiarkan sendiri, kita sangat yakin pemerintah tidak akan pernah mampu mengentaskan kemiskinan, apalagi menghapus dari negeri ini. Anehnya lagi, pihak eksekutif dan legislatif lebih suka memperdebatkan angka kemiskinan dari pada membuat kebijakan yang tertuju langsung kepada episentrum kemiskinan itu. Para pakar lebih banyak berdebat soal teori-teori kemiskinan dari pada membuat konsep jitu yang aplikatif untuk menghapus kemiskinan itu. Yang lebih parah lagi, banyak pihak pengambil keputusan sangat percaya bahwa kemiskinan tidak mungkin di entaskan, hanya karena satu alasan; “...mereka sudah miskin dari sononya”. Mengapa kita tidak bercermin dari pemberian hadiah Nobel kepada seorang Muhammad Yunus? Setiap jeritan, tangis, umpatan, dan rasa kesal orang-orang miskin adalah do’a yang didengarkan. Negara bisa ambruk. Buku “Menghapus Jejak Kemiskinan, An Unconventional Approach, Kampar Way” mengupas tuntas, dan memberi solusinya.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentar Anda!