Tribute Blog...Peduli Kemiskinan

↑ Grab this Headline Animator

23 March 2008

Berkontemplasi untuk Melihat Sisi Lain Pencegahan Korupsi

Dewasa ini, ketika berbicara masalah hukum, seketika orang akan teringat kepada masalah korupsi. Di Indonesia, terutama bagi masyarakat awam, penegakan hukum identik dengan pemberantasa korupsi. Meskipun mengandung nilai-nilai positif, namun penomena semacam ini sesungguhnya memiliki dampak yang tidak baik terhadap penegakan hukum itu sendiri. Karena dapat menghasilkan opini, bahwa keberhasilan penegakan hukum di Indonesia tergantung kepada seberapa banyak kasus korupsi dapat diungkap. Padahal ada banyak masalah yang telah menyebabkan keterpurukan bangsa dan pemicu kemiskinan, seperti kejahatan psikotropika, kejahatan ekonomi, kejahatan ekologis, kriminalitas, dan pelanggaran terhadap norma adat dan agama.

Bahwa kejahatan korupsi telah menyebabkan negara Indonesia terpuruk dan miskin adalah realita yang tentu saja dapat diterima akal sehat. Pemerintah bukannya tidak serius memberantas kejahatan ini. Ada banyak lembaga, banyak ketentuan, banyak program, dan banyak cara yang telah ditempuh untuk hal yang satu ini. Namun sebagaimana hasil survey internasional itu, peringkat negara Indonesia tetap termasuk ke dalam kelompok negara paling korup di dunia. Bahkan tidak sedikit pula lembaga swadaya masyarakat yang getol berburu data-data kejahatan korupsi. Akan tetapi, lembaga-lembaga ini lebih menyukai cara ofensif terhadap setiap individu atau lembaga yang suspect. Sehingga sering terjebak di dalam berbagai konflik dan kepentingan, tanpa memberi kontribusi terhadap pemberantasan korupsi itu sendiri.

Banyak lembaga lebih berorientasi kepada pengungkapan kasus dari pada pencegahan. Bahkan sudah merasa puas ketika berhasil membuat top rank orang atau lembaga terkorup di Indonesia. Begitu pentingkah itu semua? Rasanya tidak begitu. Indonesia lebih membutuhkan metoda jangka panjang untuk menangkal, mencegah, mengeliminasi, bahkan menghentikan syahwat dan libido berlebihan untuk melakukan kejahatan korupsi bagi warga negaranya sejak dini. Tanpa mencegah, menangkal, mengeliminasi, dan menghentikan munculnya keinginan untuk melakukan praktek-praktek korupsi, maka institusi penegak hukum akan semakin keteteran menyelesaikan berbagai kasus yang akan muncul setiap saat. Bayangkan, begitu matahari terbit di pagi hari, ketika segala aktifitas dimulai, ketika itu pula kejahatan korupsi akan dimulai.

Sayangnya, kejahatan korupsi selalu cenderung dipandang sebagai kejahatan eksklusif, karena diduga hanya dapat dilakukan oleh kalangan tertentu saja. Ini sebuah pandangan yang sangat keliru. Pada hakikatnya, kejahatan ini dapat dilakukan oleh siapa saja. Negara kita memang sedang mengidap penyakit yang dinamakan korupsi itu. Berbagai survey internasional telah menempatkan negara Indonesia pada peringkat negara terkorup di dunia. Hingga saat ini, peringkat itu seakan tidak mau beranjak. Kita mungkin tidak akan menyangkal hasil survey itu, karena kita menyaksikan, bahkan mungkin menjadi pelaku dari kejahatan itu. Betapa tidak, jika merujuk kepada definisi korupsi sebagaimana disebutkan dalam undang-undang, maka mungkin saja kita bukan hanya sekedar menyaksikan perbuatan korupsi di negara kita, tetapi boleh jadi kita sebagai pelakuknya.

Itulah sebabnya, ketika orang Indonesia berteriak mengenai korupsi, ia seakan meneriakkan dirinya sendiri. Lihat saja praktek itu telah terjadi sejak dari strata sosial paling bawah hingga level paling atas. Ketika mengurus surat-surat dan dokumen di Kelurahan, atau ketika berurusan di kantor-kantor pemerintah, kita mungkin tidak menyadari bahwa kita telah menjadi pelaku kejahatan itu, sekali lagi mungkin kita tidak menyadari. Meskipun berskala kecil, namun kita telah menjadi bahagian dari kejahatan itu. Modus yang sangat sederhana dan paling umum terjadi adalah pembenaran secara nurani (justifikasi) perbuatan “memberi secara ikhlas dan menerima pemberian tanpa meminta”. Bahkan tidak jarang seorang atasan akan berpesan kepada stafnya, “jangan meminta imbalan, tetapi terima jika diberi”. Ini adalah perbuatan korupsi dalam tekstur yang sangat santun.

Bagi penegak hukum, memang bukan pekerjaan mudah untuk membuktikan dan menghukum para pelaku kejahatan korupsi. Namun sesungguhnya, memberantas kejahatan korupsi adalah jauh lebih sulit dibandingkan menghukum pelakunya. Karena menghukum pelaku kejahatan korupsi ternyata tidak menyurutkan niat pelaku lain untuk melakukan kejahatan yang satu ini. Orang Indonesia mengatakan bahwa korupsi sudah membudaya di negara ini. Ketika rendahnya gaji pegawai dituding sebagai faktor penyebab terjadinya praktek korupsi, anggapan ini terbantahkan sendiri, karena pelaku kejahatan korupsi sebahagian besar adalah orang berstatus sosial tinggi, yang memiliki kewenangan dan tergolong berkecukupan. Ketika moral dan martabat yang rendah ditengarai menjadi ciri para pelaku kejahatan ini, ternyata banyak diantara pelakunya adalah para intelektual dan tokoh agama. Ketika masalah rendahnya wawasan dan kesadaran hukum dituding sebagai penyebab kejahatan korupsi, ternyata para pelakunya bahkan aparat penegak hukum itu sendiri.

Lantas mengapa orang Indonesia melakukan kejahatan korupsi? Mungkinkah karena falsafah, “...jangan meminta imbalan, tetapi terima jika diberi”, dianggap sebagai bahagian dari tata krama dan rasa saling menghargai. Orang akan selalu menganggap sebuah kewajaran bila menerima sesuatu tanpa merugikan orang lain. Segala pemberian, dalam bentuk dan jumlah berapapun, tetap dianggap sebagai rezeki yang menimbulkan rasa bangga dan puas. Itu terjadi dimana-mana, disemua strata kehidupan. Bahkan sekumpulan panitia amil zakat, masih menganggap sebuah kewajaran, ketika menerima imbalan sebagai panitia. Meskipun jumlah yang diterima oleh mereka jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan yang disalurkan kepada yang berhak menerima. Dan praktek itu terjadi di rumah ibadah. Apatah lagi ditempat yang jauh dari kontrol moral itu. Itulah sebabnya kemudian menjadi sebuah ironi, di negara berkategori terkorup ini ternyata sulit untuk membuktikan perbuatan korupsi itu, karena hanya pelaku dan Tuhan saja yang tahu.

Jika memang sangat sulit untuk membuktikan seseorang yang suspect telah melakukan kejahatan korupsi, mungkin perlu dipertimbangkan untuk melakukan pembuktian bahwa sesorang tidak terlibat kejahatan korupsi. Dengan demikian, proses pemberantasan korupsi di Indonesia dilakukan pada dua sisi yang berlawanan. Pada sisi pertama, proses hukum terhadap para pelaku yang diduga telah melakukan kejahatan korupsi, seperti yang berjalan saat ini. Pada sisi kedua, proses hukum terhadap orang-orang yang diduga bersih dari kejahatan korupsi sehingga perlu mendapat ketetapan hukum pula. Kedua proses ini berjalan secara simultan, sehingga akan memisahkan antara orang-orang yang bersih dengan orang-orang yang suspect. Pada saatnya nanti, penegak hukum akan lebih mudah untuk melokalisir dan mempersempit kelompok yang masih berpotensi untuk melakukan kejahatan korupsi, sehingga lebih mudah pula untuk penanganannya.

Untuk apa seseorang perlu dibuktikan tidak pernah melakukan kejahatan korupsi? Ada beberapa hal yang diinginkan dari pembuktian ini. Pertama, untuk memberi status bersih dari kejahatan korupsi, sehingga kelompok ini bisa menjadi agen penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi. Mereka yang mendapat status bersih ini akan memikul beban dan tanggung jawab moril yang sangat tinggi untuk memertahankan statusnya, sehingga kecil kemungkinan untuk menodai status bersih diri tersebut. Menjadi semacam alat untuk pencegah dan meredam perbuatan korupsi. Bagi mereka yang mendapatkan status bersih, diberikan prioritas untuk diangkat pada jabatan, kedudukan dan posisi tertentu, baik di pemerintahan maupun di tengah masyarakat. Kedua, untuk mempersempit rentang kendali penegakan hukum terhadap kelompok masyarakat yang berpotensi melakukan kejahatan korupsi.

Kita yakin, masyarakat akan berusaha untuk mendapatkan status bersih dari kejahatan korupsi. Untuk mendapatkan status ini, mereka tentu akan berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang menjurus kepada perbuatan korupsi. Semakin banyak warga negara Indonesia yang mendapatkan status bersih, berarti semakin sedikit warga negara yang masih rentan terhadap kejahatan korupsi. Bagi mereka yang tidak peduli dengan status ini, dan tetap melakukan perbuatan kejahatan korupsi, maka mereka dapat diproses sebagaimana proese yang berjalan pada saat ini.

Bagaimana cara membuktikan seseorang tidak pernah terlibat kejahatan korupsi? Tentu saja dengan melihat harta kekayaan serta jejak rekam cara memperoleh harta kekayaan tersebut. Kita bisa memulai dari masyarakat dari strata sosial paling bawah, baik di perdesaan maupun di perkotaan. Kepada setiap warga negara Indonesia dilakukan pemeriksaan terhadap harta yang dimilikinya. Jika wajar dan tidak ada indikasi diperoleh dengan perbuatan korupsi, maka pengadilan mengeluarkan kartu bebas korupsi. Hanya pengadilan yang berhak mengeluarkan, membatalkan atau menarik kartu bebas korupsi ini. Kepada setiap orang yang belum atau tidak bisa dibuktikan asal muasal harta kekayaannya, jangan diberikan kartu bebas korupsi. Atau pemberian kartu ditunda sampai pembuktian itu selesai dan dapat dipertanggungjawabkan.

Di lingkungan pegawai pemerintah atau BUMD/BUMN, pembuktian ini dapat dilakukan mulai dari pegawai bergolongan paling rendah, atau bahkan dilakukan pada saat rekrutmen pegawai. Jika harta kekayaan yang mereka miliki wajar, maka kepada mereka diberikan kartu bebas korupsi. Pemberian kartu bebas korupsi ini sekaligus menjadi shochk therapy yang sangat ampuh untuk meredam kejahatan korupsi. Karena bagaimanapun, mereka yang telah mendapat kartu ini akan merasa memiliki status bersih, sehingga akan memiliki kewajiban moril yang sangat tinggi untuk mempertahankan status bersih yang dipikulnya. Orang-orang berstatus bersih ini akan memiliki nyali kecil untuk berbuat kejahatan, karena takut kartunya akan ditarik serta kehilangan status positifnya. Disamping itu, dengan mengetahui kekayaan mereka sejak dini, bisa meredam hasrat untuk melakukan penambahan harta secara berlebihan.

Selama ini, betapa banyak diantara pegawai negeri yang sulit meredam hasrat untuk memiliki harta melebihi kemampuannya. Sebahagian diantaranya memperoleh harta itu dari hasil usaha di luar penghasilan sebagai pegawai negeri, seperti usaha perdagangan, perkebunan atau kegiatan usaha jasa lainnya. Pertanyaan berikutnya adalah bukankah setiap usaha, terlebih lagi usaha perkebunan memerlukan modal usaha yang relatif besar. Darimana pula modal itu diperoleh? Jika mau jujur, sesungguhnya penghasilan seorang pegawai negeri sipil, pegawai BUMD/BUMN, hanya cukup untuk hidup sederhana. Dengan cara apapun kita menghitungnya, penghasilan itu bahkan tidak akan cukup untuk membiayai status sosial yang kita sandang. Memang, semakin tinggi kedudukan dan jabatan seseorang, semakin besar penghasilan yang diterima, akan tetapi semakin tinggi pula biaya status sosialnya. Jadi tidak ada formula yang bisa merumuskan bahwa penghasilan pegawai di Indonesia bisa disisihkan untuk membangun rumah, membeli kendaraan roda empat, atau benda-benda berharga lainnya. Jika masih ada yang berdalih dengan menerapkan pola hidup hemat, itu berarti harus berhemat dengan mengorbankan kebutuhan pokok. Mungkinkah berhemat dengan cara berhenti membayar biaya sekolah anak-anak, atau berhenti membayar aneka tagihan rekening, tidak akan berobat jika sakit, atau bahkan berhemat dengan cara tidak makan? Karena hanya dari situ bisa dihemat.

Pemberian kartu bebas korupsi ini merupakan salah satu alternatif di dalam pemeberantasan korupsi di Indonesia. Jika selama ini pemberantasan korupsi dilakukan pada satu sisi, sekarang kita melakukannya pada dua sisi. Tujuan akhir dari pemberantasan korupsi bukanlah semata untuk menghukum orang-orang yang telah melakukan perbuatan korupsi, bukan pula untuk memperkecil peluang melakukan korupsi. Selama dinamika penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan masih ada, selama itu pula peluang itu akan tetap menyertainya. Namun, yang lebih utama adalah bagaimana supaya orang-orang yang berpeluang itu tidak mau melakukannya, sebesar apapun peluang itu.

Hanya orang-orang yang bersih dan tetap menjaga kebersihannyalah yang tidak akan tergoda untuk memanfaatkan peluang itu. Itulah sebabnya mengapa pemberian kartu bersih dan bebas korupsi itu menjadi perlu. Kelompok masyarakat yang bersih ini dapat dijadikan acuan untuk memilih pemimpin masa depan. Dari kelompok bersih inilah mestinya lahir pejabat pemerintah, pejabat publik, tokoh masyarakat, anggota legislatif, atau pemangku kedudukan terhormat lainnya. Bagi mereka yang belum memiliki kartu bebas korupsi, meskipun belum terbukti melakukan kejahatan korupsi, namun perlu dibatasi kegiatannya di tempat-tempat strategis. Sampai mereka bisa membuktikan bahwa mereka bebas korupsi. Yang perlu dijaga adalah pemberian kartu bebas korupsi jangan dikorupsi pula. Barangkali saja lebih mudah untuk membuktikan sesorang tidak terlibat korupsi dari pada membuktikan bahwa sesorang terlibat korupsi.

(Baca selengkapnya pada buku “Menghapus Jejak Kemiskinan, An Unconventional Approach, Kampar Way”, Penulis; Alfian Malik, UNRI Press, ISBN 978-979-792-128-6)

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentar Anda!

Alfian Malik's Facebook profile