Tribute Blog...Peduli Kemiskinan

↑ Grab this Headline Animator

15 March 2008

Kemiskinan, Teori + Data vs Realita

Masalah kemiskinan di Indonesia sangat dinamis, dan memang penuh dengan dinamika. Selain dinamika tumbuhnya angka kemiskinan, ternyata ada sisi lain yang lebih menarik. Yakni lahirnya pakar-pakar kemiskinan baru, selain dari pakar yang sudah ada. Hal ini menjadi semakin menarik, karena disamping banyaknya teori-teori yang sudah ada, sekarang juga bermunculan teori-teori baru tentang kemiskinan. Nggak percaya?, coba saja ikuti seminar-seminar, dialog, temuwicara, atau baca media yang menulis tentang kemiskinan, atau cari artikel tentang kemiskinan, atau ikuti dengar pendapat di DPR/DPRD.

Di sana kita akan menemukan segala bentuk teori dan data-data tentang kemiskinan. Orang rela menghabiskan energi, anggaran dan waktunya untuk berdebat tentang teori dan data kemiskinan. Mereka pintar membuat kriteria kemiskinan, mengelompokkan, membuat program, lalu mengusulkan anggaran ke pemerintah. Kalau ditanya apakah mereka punya data detail (matrik) tentang jumlah orang miskin, nama kepala keluarga, jumlah anggota keluarga, umur, jenis kelamin, sejak kapan menjadi miskin, di mana temapt tinggalnya, seperti apa rumahnya, berapa penghasilan rata-rata perhari, kapan direncanakan untuk lepas dari kemiskinan, mereka akan katakan, "...ya tidak perlu sedetail itulah, itu urusannya camat, lurah, ketua RT yang lebih tau". Gila...mau mengentaskan kemiskinan nggak cukup hanya mengetahui jumlahnya saja pak! nanti bapak dibohongi sama camat, lurah dan ketua RT itu.

Pejabat publik di daerah lebih aneh lagi. Mereka akan bereaksi keras jika daerahnya dikategorikan miskin. Bahkan ketika ditemukan orang miskin yang kelaparan, gizi buruk, dan kehidupan sub-standard, mereka enteng saja mengatakan itu karena mereka tidak melapor kepada RT atau lurah, weh!
Pokoknya daerahnya aman-aman saja. Kalaupun ada kemiskinan, itu masih dalam batas kewajaran. (memangnya miskin itu ada batas wajarnya?). Nah...ini yang lebih seru. Ketika menerima informasi akan ada bantuan dari pusat, atau akan ada kunjungan pejabat, seperti Menteri Negara PPDT, mereka sibuk mengagendakan kunjungan sang menteri ke kantong-kantong kemiskinan (ternyata sangat banyak), dan merekayasa data agar dapat dikategorikan sebagai daerah tertinggal yang perlu mandapat bantuan (nah kamu ketahuan). Sampai kapan orang miskin jadi komoditas?

Sebenarnya, kalau orang miskin itu diberi kesempatan untuk bicara, mereka akan katakan:
"Kami tidak perlu bantuan yang berlabel kemiskinan itu, karena disamping tidak mendidik, bantuan itu lebih banyak jatuh ketangan orang-orang yang pintar merekayasa dirinya berpura-pura miskin. Bantaun itu juga akan mengajarkan kami untuk menjadi pengemis, dan menunggu uluran tangan pemerintah. Tapi sampai kapan? Sekarang saja pemerintah sudah keringat dingin, dan mulai mengurangi subsidi.
Akan lebih baik jika kami masuk dalam program pemberdayaan (empowerment). Cobalah pemerintah daerah itu merubah arah kebijakannya. Setiap satuan kerja perangkat daerah itu diberi tanggung jawab untuk terlibat dalam program pengentasan kemiskinan. Pengentasan kemiskinan itu harus dibuat seperti sekolahan. Ada jadwal kapan masuk sekolah dan kapan akan selesai. Untuk itu, disetiap daerah harus punya sekolah pengentasan kemiskinan itu. Ada lembaganya, ada program, ada dana, dan ada fasilitasnya.
Perlu dibangun laboratorium, bengkel, workshop untuk mendidik orang miskin supaya memiliki kemampuan untuk berproduksi. Kalau mereka tetap dibiarkan dalam kelompok konsumtif, sementara mereka tidak bisa berproduksi atau tidak punya kemampuan/daya beli, nah lantas mereka mau makan apa?

Segera bentuk kelompok masyarakat produktif dan koperasi di daerah. Ada ribuan jenis barang dan jasa yang bisa diproduksi. Mereka tidak produktif karena tidak tahu, tidak punya modal dan tidak kenal pasar. Tugas pemerintah menyediakan itu semua. Dari material bambu saja bisa dikembangkan ratusan jenis barang produksi, mulai dari barang sekecil tusuk gigi, sampai barang sebesar perabotan. Itu baru dari satu jenis bambu. Tunjukkan kepada mereka apa-apa saja bidang usaha produksi, ajarkan cara berproduksi sampai benar-benar bisa, tunjukkan pasarnya (pasar dalam dan luar negeri), kalau perlu buat kebijakan agar semua komponen masyarakat wajib membali, beri modal untuk membeli bahan baku dan peralatan (dijamin tidak akan menunggak seperti BLBI), berikan bantuan manajemen dan pengelolaan keuangan keluarga agar mereka tidak boros. Beri mereka akses kesumber-sumber informasi, sumber pembiayaan, permudah urusannya. Berikan kepada mereka program motivasi, agar rasa kepercayaan dirinya muncul.

Berhentilah untuk sementara menghamburkan uang untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat. Banyak kepala daerah ketika ditanya apa program utamanya setelah dilantik? Jawabannya "....membuka daerah terisolasi..." maksudnya tentulah membuka jalan baru ke kawasan-kawasan terisolasi. Ketika jalan itu selesai dibangun, ternyata mempercepat para pemodal untuk menguasai tanah dan lahan serta sumber daya alam yang selama ini dikuasai oleh masyarakat. Mereka bayar lahan dan tanah itu dengan harga murah, lalu masyarakatnya tergusur entah kemana.

Berbagai solusi pengentasan kemiskinan bisa di baca pada buku "Menghapus jejak Kemiskinan, An Unconventional Approach, Kampar Way" Di buku itu semua diurai secara lengkap dan ralistis, implementatif.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentar Anda!

Alfian Malik's Facebook profile