Tribute Blog...Peduli Kemiskinan

↑ Grab this Headline Animator

17 August 2008

17 Agustus 1945 - 17 Agustus 2008

Hari ini, Republik Indonesia memperingati hari kemerdekaan yang ke 63, sama seperti usia Nabi Muhammad SAW, ketika wafat. Bedanya, pada usia 63 tahun, sebagai seorang pengemban misi kerasulan, beliau berhasil menuntaskan misinya, sebagaimana pernyataan Allah dalam (QS, 5: 3) “… Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu….”, sebuah repleksi misi yang tuntas dan berhasil, serta menjadi penutup sebuah perjuangan yang sangat sempurna. Tapi, hari ini, setelah 63 tahu merdeka, perjalanan bangsa Indonesia dalam mengemban misi sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 45, kita seperti menyaksikan sebuah perjalanan yang tak kunjung tuntas.

Memang sangat tidak relevan membandingkan keberhasilan seorang utusan Allah dengan perjalanan sebuah bangsa. Tetapi setidaknya kita boleh melihat dari perspektif dan kesamaan misi yang diemban, yaitu melawan semua bentuk penindasan (HAM), memberantas kebodohan, dan mengentaskan kemiskinan. Ketika Muhammad SAW pada usia 63 tahun mengakhiri dengan indah misinya, bangsa kita justeru seakan baru memulainya.

Harus diakui bahwa selama 63 tahun perjalanan bangsa Indonesia, kita menjadi saksi terhadap berbagai keberhasilan, kecuali terhadap tiga hal itu, yaitu penindasan, kemiskinan dan kebodohan. Sebagaimana yang saya tulis dalam buku “Menghapus Jejak Kemiskinan; An Unconventional Approach, Kampar Way, menuntaskan ketiga hal tersebut adalah menjadi kewajiban pemerintah, baik ditinjau dari sisi perspektif keagamaan maupun perspektif kenegaraan.

Kini kita sedang menunggu momentum baru upaya bangsa Indonesia dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi pada Rabu 13 Agustus 2008 memutuskan bahwa anggaran pendidikan Indonesia sebesar 20 persen harus dianggarkan dalam APBN. "Apabila kelak dalam UU APBN yang baru tersebut ternyata anggaran pendidikan tidak juga mencapai 20 persen dari APBN dan dari APBD, maka mahkamah cukup menunjuk putusan ini untuk membuktikan inskonstitusionalnya ketentuan UU dimaksud," kata Jimly Asshiddiqie.

Pemerintah berupaya mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memenuhi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2009. Menteri Keuangan Sri Mulyani di Istana Negara, Jakarta, Kamis (14/8), mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menginstruksikan agar anggaran pendidikan 20 persen dari APBN 2009 dipenuhi meski dalam suasana anggaran yang sangat ketat.

Tapi, kemudian kita belum bisa bernapas lega. Pengalaman menunjukkan bahwa kita selalu tidak siap menjalankan sebuah agenda besar. Pengalaman saya (sebagai birokrat di salah satu kabupaten) mengindikasikan bahwa aparatur pemerinath dan masyarakat selalu tidak siap untuk memanfaatkan sebuah momentum sampai kita akhirnya kehilangan momentum tersebut.

Ketika pemerintah mengalokasikan dana dalam jumlah besar, selalu tidak disertai dengan program yang komprehensif. Karena tidak memiliki data-data yang benar, akurat dan valid, maka aparatur pemerintah yang bertanggung jawab dalam menyusun program cenderung membuat program secara asal-asalan. Berbagai kegiatan diusulkan, tanpa peduli apakah kegiatan tersebut ada kaitannya dengan sasaran, target dan tujuan yang ingin dicapai. Apalagi untuk menyusun program dalam kategori perlu, penting, sangat dibutuhkan, sangat prioritas. Bahkan tidak jarang, para aparatur yang terlibat dalam penyusunan program saling bertanya satu dengan yang lain, “apa lagi ya, yang mau kita usulkan?” maka kemudian muncullah berbagai usulan kegiatan yang tujuannya hanya untuk menyerap dana yang tersedia.

Hasilnya kemudian bisa ditebak, bahwa dana pendidikan sebesar 20 persen yang dialokasikan dalam APBN/APBD tidak akan pernah, tidak akan pernah, sekali lagi tidak akan pernah meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.

Bangsa kita memang sangat ironi. Di satu sisi, para pelaku pendidikan mengatakan bahwa kualitas pendidikan sulit untuk ditingkatkan tanpa didukung dana yang cukup besar. Sementara disi lain mereka justeru mendukung para calon pemimpin (eksekutif dan legislatif) yang berkampanye dan menjanjikan pendidikan gratis. Lebih ironi lagi, ketika guru-guru yang telah mengantongi sertifikat guru itu berjani akan meningkatkan mutu pendidikan. Tapi ketika Depdiknas akan meningkatkan nilai kelulusan ujian nasional untuk SMP, SMU/SMK, dan akan menerapkan ujian nasional untuk sekolah dasar, semua pelaku pendidikan serentak berteriak menolak. Penolakan itu tidak lebih dari cerminan betapa kita ingin agar semua murid bisa lulus betapun rendah kualitasnya. Padahal, rendahnya kualitas dan kuantitas SDM adalah menjadi penyebab utama terjadinya stagnasi di dalam berbagai dinamika kehidupan masyarakat dan pemerintahan.

Banyak pakar pendidikan merasa optimis bahwa program sertifikasi guru dan peningkatan kesejahteraan guru adalah faktor utama untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Tapi saya justeru berpendapat lain, seribu sertifikat tidak akan berarti apa-apa melainkan hanya menjadi penambah koleksi piagam bagi pemegangnya. Ada banyak faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan, seperti infrastruktur pendidikan, fasilitas utama dan penunjang, program, anggaran, manajemen sekolah, akademik atmosfir, kualitas guru dan staf pendidik, peran masyarakat, sistem pengawasan dan evaluasi, adalah beberapa diantaranya. Semuanya saling mempengaruhi dan terkait satu dengan yang lain. Kesemua itupun tidak akan pernah berhasil jika kehidupan masyarakat peserta didik (orang miskin) tidak pernah diperhatikan.
(Selengkapnya bisa dibaca dalam buku “Menghapus Jejak Kemiskinan; An Unconventional Approach, Kampar Way”, karya Alfian Malik)

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentar Anda!

Alfian Malik's Facebook profile